Sunday, May 29, 2016

Syekh Maulana Abu Ali Ahsan al Ba’qili bin Muhammad bin Muhammad bin Umar bin Mas’ud bin Ibrahim bin Abdullah bin Ali

Ziarah Syekh Tarekat Tijaniyah di Casablanca
Syekh Maulana Abu Ali Ahsan al Ba’qili bin Muhammad bin Muhammad bin Umar bin Mas’ud bin Ibrahim bin Abdullah bin Ali dilahirkan  pada awal abad ke-13 H di Desa Ikidhi-Maroko. Nasabnya berujung kepada sayyidina Hasan as Sibthi bin sayyidina Ali dan sayyidah Fatima az Zahra binti Rasulillah SAW.<>
Sedangkan Ba’qili merupakan nama suku yang berada di daerah selatan Maroko. Di usianya yang masih kecil (8 tahun) ayahnya meninggal dunia, mulai saat itulah saudara-saudaranya yang mencukupi keperluan beliau sehari-hari. Pada usia 14 tahun  telah hafal Al-Quran, yang kemudian melanjutkan menimba ilmu kepada para ulama di berbagai daerah Negara Matahari Terbenam tersebut, diantaranya di Qurawiyin-Fes, Medina Qasr Kabir, Medina Settat dan lainnya.
Pada tahun 1321, beliau memulai mempelajari ilmu Tasawuf, mulanya di bawah bimbingan Syekh Ali Masfayubi, dan kemudian berguru kepada Syekh al Qutb Husen al Ifrani (W. 1328 H) penulis kitab “Tiryaqu al Qulub min Adawai al Ghaflah wa ad Dzunub”, dari sinilah beliau memperoleh ijazah dan legalisasi sebagai Mursyid tarekat Tijaniyah secara mutlak dengan silsilah sanad keemasan yaitu Sidi Ahsan Ba’qili dari Syekh al Qutb Husen al Ifrani dari al Qutb Syekh Arobi bin Sayih (W. 1309 H) dari Syekh Ali at Tamasini (W. 1260 H) dari Sayyidina Maulana al Qutb Syekh Ahmad bin Muhammad at Tijani RA. dari Rasulullah SAW.
Kisahnya bertemu dengan Rasulullah diabadikan dalam kitabnya as Syurbu as Shafi, yang menceritakan bahwa kewaliannya berada di bawah telapak kaki Baginda Nabi SAW dan akan memperoleh derajat yang tinggi sebagai seorang Dai. Dituturkan pula oleh Syekh Muhammad bin Ahmad Alfa Hasyim al Futiy bahwasannya pada musim haji ia bertemu dengan Sidi Ahsan Ba’qili, seorang yang Alim, ahli Fiqih, ahli Hadits pada zamannya yang hafal 200 ribu hadits beserta sanadnya dan penulis produktif diberbagai disiplin ilmu.
Akhirnya dia pun kagum dan terpukau dengan beberapa pertanyaan yang dijawab Sidi Ahsan Ba’qili, diantaranya ialah Zawiyah itu seharusnya diatas maupun di bawahnya tidak ada bangunan lagi untuk tempat tinggal. Zawiyah adalah semacam musholla tempat mengamalkan tarekat. Demikianlah cerita keponakannya Syekh Umar Al-Futiy penulis kitab “Rimah” atau Rimahu Hizbi ar Rahim ala Nuhuri Hizbi ar Rajim.
Sidi Ahsan Ba’qili juga andil besar dalam penyebaran ajaran tarekat Tijaniyah, terbukti 1200 orang lebih yang telah beliau talqin. Disamping itu pula turut andil melalui dakwah dan tulisannya tentang hukum, keutamaan dan rahasia tarekat ini. Hasil buah tangannya mencapai puluhan kitab, namun yang paling masyhur di kalangan Tijaniyah ialah Iraah dan Sauqu al Asrar ila Hadrati as Syahidi as Sattar.
Adapun penerus perjuangannya yang kesohor antara lain ialah Syekh Ahmad bin Ali al Kasyti (W. 1374 H), putranya Sidi Muhammad Habib Abu Aqil (W. 1995 M), putranya Sidi Muhammad Kabir Ba’qili, Syekh Abdur Rahman Inezgane (W.1403 H), Syekh Muhammad Arobi bin Mahdi (yang berkunjung ke Indonesia pada bulan September 2013 lalu) dan Cucunya Ustadzah Zainab Abu Aqil yang eksistensi pola pikirnya bernafaskan al Ba’qili  dan lain-lain.
Pada tahun 1367 H, Beliau mulai terserang penyakit Hepatitis, yang ujungnya Beliau menghembuskan nafas terakhir untuk menghadap kehadirat Sang Khaliq pada malam jumat 10 Syawal 1368 H. Dahulu dimakamkan di daerah Oulad Ziyan, namun -subhanallah- ketika dipindah ke pemakaman Ghufron - Casablanca mayatnya utuh walaupun sudah bertahun-tahun.
Demikianlah biografi sang Mursyid yang peranannya sebagai Khalifah tarekat Tijaniyah. Semoga bermanfaat dan semoga para pembaca mendapat barokah dari ilmu beliau.

Ahmad Shohibul Muttaqin, alumni Universitas Ibn Tofail Kenitra – Maroko, mantan ketua PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Maroko 2011/2012, serta penganut tarekat Tijaniyah.

SUMBER : http://www.nu.or.id/post/read/51984/ziarah-syekh-tarekat-tijaniyah-di-casablanca

Pertemuan Muqoddam Tijaniyah Sedunia di Brebes, Serukan Perdamaian

www.nu.or.id
Pertemuan Mursyid Tijaniyah Sedunia di Brebes, Serukan Perdamaian
Brebes, NU Online
Muqoddam dan para guru tarekat Tijaniyah dari pelbagai belahan dunia hadir pada Idul Khotmi lil Qutbil Maktum Syeikh Ahmad At-Tijani sebagai peringatan ke-222 hari pengangkatan Syekh Tijani sebagai wali khatm. Pada acara yang berlangsung di pesantren Darussalam Jatibarang Kidul, Jatibarang, Brebes, Ahad (14/12), mereka menyerukan penduduk dunia untuk menebar kasih sayang sesame manusia dan juga kepada binatang.
<>
Tampak hadir pada peringatan ini Syekh Sayid Tohar (Maroko), Syekh Muhammad Al-Jakani (Maroko), Syekh Prof Umar Mas’ud (Sudan), Syekh Abdul Halim (India), Syekh Hasan Ibnu Muhammad Al-Jakkani (Maroko), Assyayidah (Hijaz), Assayyidah Ba Aziz Ehwan (London), Dr Mazlam Nawaei (Malaysia), dan Pavontum Mannil (India).

Syekh Wa’lah dari Al-Jazair mengajak para pengamal tarekat Tijaniyah agar selalu mengampanyekan perdamaian di muka bumi ini. Pasalnya, perdamaian ini sangat dianjurkan oleh Rasulullah.

“Nabi telah memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk menebarkan kedamaian, cinta, dan menasehati demi kebaikan bersama,” tutur Wa’lah.

Ia menekankan penting persaudaraan. Pantang berdengki dan bermusuhan. “Jauhi permusuhan karena kita menjadi satu badan dalam satu Islam dan Tarekat Tijaniyah. Seperti penyebaran Islam dengan kedamaian demikian juga Tarekat Tijaniyah,” tandasnya.

Senada dengan itu, Prof Dr Rodi Genun dari Prancis menyatakan Tijaniyah selalu menebarkan kasih sayang kepada sesama manusia tetapi juga kepada binatang. Kasih sayang menunjukan pada ketinggian ahlak seperti ahlak Nabi Muhammad SAW. “Ahlak Nabi bagai lautan tak bertepi, ahlak yang yang mulia,” tambahnya.

Bupati Brebes Hj Idza Priyanti mengaku sangat bangga dan gembira karena Brebes telah kedatangan para ulama besar dari seluruh penjuru dunia. Kedatangan mereka diharapkan bisa menambah keteguhan hati masyarakat Brebes dalam meningkatkan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT.

Muqaddam Tijaniyah KH Syekh Soleh Basalamah menjelaskan, peringatan yang diadakan setiap 18 Shafar ini, merupakan puncak ijtima’ kaum Tijaniyah seluruh Indonesia. Dilaksanakan bersifat nasional berdasar restu sesepuh muqaddam tingkat nasional. Sementara tempatnya bergiliran di tempat-tempat yang ada di Indonesia.

“Bagi Jatibarang, mendapatkan tiga kali giliran, 1984, 2008 dan 2014 ini,” imbuh Syekh Sholeh yang juga Pengasuh Pesantren Darussalam Jatibarang Kidul. (Wasdiun/Alhafiz K)

Kiai Abbas Buntet: Kiai Sufi Pejuang Negeri yang melahirkan banyak santri

Tulisan ini begitu menarik yang kami ambil dari 
web NU www.nu.or.id
http://www.nu.or.id/o-images/imageContent.php?cl=nu_or_id&assets=pictures&cnt=post&type=big&files=145517196956bc2981c94c2.jpg
Salah satu kiai yang menjadi pejuang pada masa revolusi ialah Kiai Abbas bin Abdul Jamil, Buntet Cirebon. Kiai Abbas merupakan kiai kharismatik, yang dikenal karena pengetahuan keislaman, keteduhan spiritual dan kekuatan ilmu kanuragan yang menjadikan beliau sebagai rujukan dalam perang kemerdekaan. Kiai Abbas, dikenal sebagai Angkatan Udara Nahdlatul Ulama, yang menghancurkan beberapa pesawat tempur tentara NICA, dalam perang kemerdekaan di Surabaya, November 1945. Uniknya, Kiai Abbas menggunakan bakiak, tasbih dan butiran pasir sebagai senjata untuk merontokkan pesawat tempur musuh. Bagaimana kisahnya?

Kiai Abbas merupakan putra sulung dari Kiai Abdul Jamil, pengasuh pesantren Buntet, Cirebon. Beliau lahir pada 24 Dzulhijjah 1300 H/1879 M, di Cirebon, Jawa Barat. Pada masa kecilnya, Kiai Abbas belajar mengaji dengan Kiai Nasuha Plered Cirebon dan Kiai Hasan, Jatisari. Setelah itu, Abbas kecil berkelana untuk mengaji ke Tegal, di bawah asuhan Kiai Ubaedah. Setelah itu, menuju Jombang, Jawa Timur untuk mengaji kepada Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari.

Pada kisaran tahun 1900an, Kiai Abbas datang untuk belajar ke pesantren Tebu Ireng, Jombang. Beliau datang bersama saudaranya, yakni Kiai Sholeh Zamzam, Kiai Abdullah Pengurangan, dan Kiai Syamsuri Wanatar. Pada waktu itu, pesantren Tebu Ireng masih sering diganggu oleh musuh, yakni berandal-berandal lokal di sekitar Pabrik Gula Cukir. Bersama santri-santri lainnya, Kiai Abbas membantu Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari melawan bandit lokal yang mengganggu pesantren. Akhirnya, para berandal lokal dan bandit-bandit kecil kalah dalam adu ilmu kanuragan (Masyamul Huda, 2014). PesantrenTebu Ireng menjadi aman, serta jadi rujukan santri untuk mengaji.

Ketika belajar di pesantren, bakat sebagai pemimpin, ahli ilmu, ahli strategi dan watak periang sudah terlihat dalam diri Kiai Abbas. Beliau berkawan karib dengan Kiai Wahab Chasbullah, putra Kiai Chasbullah Said, Tambakberas, Jombang. Setelah melalang buana di pesantren Jawa, Kiai Abbas kemudian menikah dan berangkat haji ke tanah suci. Di tanah Arab, Kiai Abbas bertemu dengan banyak kawan asal Nusantara yang belajar di Hijaz. Ia banyak diskusi dengan mereka, untuk memperdalam pengetahuan agama dan wawasan global.

Kemudian, Kiai Abbas pulang sebentar ke tanah air, dan kembali lagi ke tanah suci untuk belajar. Di Makkah, Kiai Abbas menjadi santri Syekh Ahmad Zubaidi. Kiai Abbas juga belajar kepada Syekh Mahfudh at-Termasi dan Syaikh Chatib al-Minangkabawi. Di tanah suci, Kiai Abbas dengan tekun belajar, diskusi dan menggelar pelbagai majlis ilmu bersama kawan-kawannya. Pada usia 40 tahun, Kiai Abbas mendapatkan tugas sebagai pengajar.

Mengembangkan Pesantren Buntet

Sekembali ke tanah air, Kiai Abbas kemudian mengembangkan pesantren Buntet, yang menjadi peninggalan ayahandanya. Di bawah asuhan Kiain Abbas, pesantren Buntet menjadi ramai oleh santri dan terkenal sebagai salah satu rujukan dalam mengaji serta memperdalam ilmu Islam. Bagi Kiai Abbas, siapa saja boleh datang untuk mengaji di pesantren, untuk belajar berbagai macam ilmu. Pengetahuan dan wawasan yang diperoleh Kiai Abbas ketika belajar di pesantren dan mengaji di tanah suci, digunakan untuk menguatkan model pendidikan pesantren Buntet. Di pesantren ini, pada masa Kiai Abbas, bermacam ilmu diajarkan, dari ilmu al-Qur’an, ilmu Qiroat, Hadist, Tauhid hingga kanuragan menjadi bagian dari tradisi pembelajaran santri.

Kiai Abbas, selain mengasuh santri, juga menjadi _mursyid_ tarekat Syattariyah dan _muqoddam_ tarekat Tijaniyyah. Dalam catatan Muhaimin AG, Kiai Abbas termasuk sosok kiai dengan pikiran yang terbuka. Ketika beberapa Kiai menolak tarekat Tijaniyyah, Kiai Abbas menerima sebagai salah satu alternatif dalam laku batin. Di Cirebon, dalam perkembangannya, tarekat Tijaniyah berkembang, dengan Kiai Abbas dan Kiai Annas sebagai muqoddamnya. Kiai Annas kemudian melahirkan beberapa kiai yang menjadi penerus muqoddam dalam praktik tarekat Tijaniyyah: Kiai Muhammad (Brebes), Kiai Bakri (Kasepuhan, Cirebon), Kiai Muhammad Rais (Cirebon), Kiai Murtadho (Buntet), Kiai Abdul Khair, Kiai Hawi (Buntet), serta Kiai Soleh (Pesawahan). Sedangkan, Kiai Abbas mencetak beberapa penerus dalam tarekat ini, yakni: Kiai Badruzzaman (Garut), Kiai Ustman Dlomiri (Cimahi, Bandung), serta Kiai Saleh dan Kiai Hawi (Buntet) (Muhaimin, 2006: 264).

Kiai Abbas menjadikan pesantren Buntet sebagai rujukan santri. Beliau menambah staf pengajar untuk mengakomodasi kebutuhan santri-santri dalam belajar berbagai macam ilmu. Kiai Abbas juga mendirikan madrasah yang dipadukan dengan pendidikan sekolah. Madrasah inilah yang dinamakan Abna’oel Wathan, yang menegaskan visi perjuangan Kiai Abbas dalam membangun fondasi negara.

Pejuang Revolusi

Kiai Abbas Buntet merupakan murid dari ulama Nusantara yang menjadi penyambung sanad para kiai: Kiai Nawawi al Bantani dan Syech Mahfudh at-Tirmasi. Selain Kiai Nawawi, ada beberapa murid lain yang juga menjadi kiai-kiai penting di Jawa, sebagai jaringan penggerak Nahdlatul Ulama. Di antaranya: Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muhammad Bakri bin Nur, Kiai Asnawi Kudus, Kiai Muammar bin Baidlawi Lasem, Kiai Ma’shum bin Muhammad Lasem, Haji Ilyas (Serang), Tubagus Muhammad Asnawi dan Abdul Ghaffar dari Caringin (Burhanuddin, 116).

Kiai Abbas, adalah sosok pejuang yang mencintai tanah air, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau menggembleng santri agar semangat memperjuangkan agama dan negara. Bahkan, pesantren Buntet juga menjadi markas latihan laskar Hizbullah, Sabilillah, dan pasukan PETA. Kiai Abbas juga membentuk dua regu laskar santri, yang dinamakan Asybal dan Athfal.

Dikisahkan, dalam pertempuran 10 November 1945, Kiai Abbas menggenggam pasir yang ditaburkan ke arah musuh. Aksi ini membuat musuh kocar-kacir, karena seakan-akan pasir yang ditaburkan menjadi meriam dan bom yang menghancurkan.

Sebelum pertempuran ini, Kiai Abbas juga ikut andil dalam keputusan Resolusi Jihad, yang merupakan keputusan para Kiai dalam rapat Nahdlatul Ulama di Bubutan, Surabaya, pada 21-22 Oktober 1945. Beberapa kiai, di antaranya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Abbas Buntet, Kiai Wahid Hasyim, dan beberapa kiai lainnya berkumpul dalam sebuah majlis untuk membahas penyerbuan tentara NICA (_Netherlands Indies Civil Administration_). Fatwa Jihad yang digelorakan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari akhirnya menjadi catatan sejarah, sebagi pengobar semangat kaum santri untuk berjuang mempetahankan negeri.

Pada pertempuran 10 November 1945, Kiai Abbas ikut membaur dengan pejuang dari kalangan Kiai yang berpusat di Markas Ulama, di rumah Kiai Yasin Blauran Surabaya. Di rumah ini, para kiai berkumpul untuk merancang strategi, menyusun komando serta memberikan suwuk/doa kepada para santri pejuang yang bertempur melawan penjajah (Amin, 2008: 72)

Setelah masa perjuangan kemerdekaan, Kiai Abbas mendapat amanah sebagai anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat)—yang kedudukannya sebagai DPR sementara. Kiai Abbas mewakili area Jawa Barat, dalam kedudukannya sebagai anggota KNIP.

Kiai Abbas dikenal sebagai kiai yang memiliki ilmu kedigdayaan yang tinggi pada masa hidupnya. Beliau tak hanya berilmu agama mendalam, namun juga dikenal digdaya dan ampuh. Kemampuan Kiai Abbas dalam bidang _psychokinesys_—yang berangkat dari Cirebon menuju Surabaya dalam sekejap hentakan kaki, merupakan karomah yang diberikan Allah kepada beliau (Amin, 2008: 72). Inilah potret Kiai Abbas yang berjuang dengan ikhlas dan rela untuk menjaga negeri dari tangan penjajah. Sudah selayaknya, perjuangan Kiai Abbas menjadi referensi pewaris negeri, sebagai pahlawan dari kaum santri.

Munawir Aziz, Koordinator Teraju Indonesia, Wakil Sekretaris LTN PBNU, (@MunawirAziz)


Referensi:
Abdul Ghoffir Muhaimin, The Islamic Tradition of Cirebon: Ibadat and Adat among Javanese Muslim, Canberra: ANU Press, 2006.

_____________________________. Pesantren and Tarekat in the Modern Era: An Account of the Transmission of Traditional Islam in Java, Jakarta, Studia Islamika, 1997.

Abdul Wahid, Peranan Pondok Pesantren Buntet Cirebon bagi Kemajuan Lingkungan Pendidikan di Lingkungan Sekitar 1958-2009, Universitas Negeri Semarang, 2012.

Hasan AZ, Perlawanan dari Tanah Pengasingan: Kiai Abbas, Pesantren Buntet dan Bela Negara, Yogyakarta: LKIS. 2014.

Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, Jakarta: Mizan, 2012.

Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai, Yogyakarta: LKIS. 2008.
sumber : http://www.nu.or.id/post/read/65684/kiai-abbas-buntet-kiai-sufi-pejuang-negeri