Khatmu Al-Auliyai Al-Maktum
Secara etimologi (bahasa), qutub berasal dari kata ط - ب - ق.
Artinyabintang terindah. Sedangkan secara istilah, qutub adalah manusia terbaik
yang mengumpulkan seluruh keutamaan. Baik dalam sifat kemanusiaan, ibadah dan
kedekatannya dengan Alloh. Seorang qutub merupakan Khalifah Rasulillah SAW
dalam menjaga keseimbangan alam.Setiap masa hanya ada satu orang kutub. Ibnu
Hajar menjelaskan, kata abdal telah masyhur dalam sejumlah khabar dan qutub
telah ditemukan dalam beberapa atsar. Sedangkan kata ghauts tidak ditemukan
sumbernya. Jalaluddin As-Suyuthi telah mengetengahkan akan adanya qutub, autad
dan abdal dalam kitabnya Al-Khabarud Dallu ‘Ala Wujudil Quthbi Wal Autadi
Wan Nujabai Wal Abdalli. Keterangan ini menunjukkan adanya qutub. Berbeda
dengan ghauts yang tidak ada penunjukkan. Hal ini berdasarkan pada hadits dan
atsar yang ditemukan.
Adapun ghauts secara istilah adalah persamaan dari qutub. Ghauts merupakan
sosok qutub yang sempurna (Al-Quthb Al-Kamil wa Al-Jami). Dari sini dapat
dimengerti bahwa kemutlakan kata ghauts atas al-quthbu al-jami’ adalah istilah
yang baru muncul di antara para wali. Berbeda denga kata qutub yang telah
ditemukan dalam beberapa atsar. Kekhususan Al-Quthbu Al-Kamil wa Al-Jami ini
sangat banyak. Di antaranya adalah mengetahui ismu Al-a’dham dengan seluruh
bentuk, huruf, lafal, jumlah, tujuan dan waktunya. Sebagian dari ismu Al-a’dham
ini ada yang boleh diijazahkan kepada beberapa orang sahabatnya dan ada pula
yang tidak diperbolehkan. Karena besarnya anugerah, martabat lahir atau
batinnya dan inti batinnya. Sebagaimana keterangan dalam Jawahirulma’ani, Kanzi
Al-Muthlasam dan beberapa risalah Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani.
Al-Quthbu Al-Kamil wa Al-Jami mempunyai 366 dzat sesuai jumlah hari
kabisat. Seperti telah diterangkan As-Sya’rani dari gurunya, Al-Khawas r.a.
keterangan ini juga disampaikan oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani r.a.
dalam Jawahiru Al-Ma’ani.
Ibnu Asakir dan Al-Khatib telah mengutip keterangan dari Ubaidillah bin
Muhammad Al-abbas, bahwa Al-kannani mengatakan, “Wali nuqaba berjumlah 300
orang. Wali nujaba berjumlah 70 orang. Wali abdal berjumlah 40 orang. Wali
akhyar berjumlah 7 orang. Wali amal berjumlah 4 orang. Wali ghauts hanya
seorang. Menurut Ibnu Khaldun, kedudukan qutub merupakan kedudukan tertinggi.
Sebagian orang arif mengatakan bahwa Wali Qutub adalah seorang wali yang
disinyalir dalam Hadits Ibnu Mas’ud, hatinya berada dalam hati Malaikat
Israfil. Wali Qutub merupakan poros dan markas dari seluruh wali.
Imam jalaluddin As-Suyuthi telah meriwayatkan dari Ibnu Asakir dan Abu
Nu’aim dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasululloh SAW bersabda, “Sesungguhnya Alloh
juga mempunyai 40 orang di antara makhluk-Nya yang hatinya berada dalam hati
Nabi Musa a.s. Alloh juga mempunyai 7 orang di antara makhluk-Nya yang hatinya
berada dalam hati Nabi Ibrahim a.s. Alloh juga mempunyai 5 orang di antara
makhluk-Nya yang hatinya berada dalam hati Malaikat Jibril a.s. Alloh juga
mempunyai 3 orang di antara makhluk-Nya yang hatinya berada dalam hati Malaikat
Mikail a.s. Alloh juga mempunyai satu orang di antara makhluk-Nya yang hatinya
berada dalam Malaikat Israfil a.s. Jika yang seorang tersebut meninggal, maka
Alloh SWT akan menggantikan kedudukannnya dari yang 3 orang. Jika yang 3 orang
telah meninggal, maka Alloh SWT akan menggantikan kedudukannnya dari yang 5
orang. Jika yang 5 orang telah meninggal, maka Alloh SWT akan menggantikan
kedudukannnya dari yang 7 orang. Jika yang 7 orang telah meninggal, maka Alloh
SWT akan menggantikan kedudukannnya dari yang 40 orang. Jika yang 40 orang
telah meninggal, maka Alloh SWT akan menggantikan kedudukannnya dari yang 300
orang. Jika yang 300 orang telah meninggal, maka Alloh SWT akan menggantikan
kedudukannnya dari orang umum.
Dengan sebab merekalah Alloh menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan,
menumbuhkan tumbuhan dan menolak bahaya.”
Shahibul Muniyah telah bersyair:
Dalam Bulan Muharam esok, akan muncul ghauts yang memberi petunjuk.
Yaitu khalifah dari al-muhaimin al-majid (Alloh).
Alloh telah memberikan kedudukan tersebut kepada guru kami di Arafah.
Seperti yang telah diceritakan oleh orang yang hak dan mengetahuinya.
Ghauts yang dimaksud adalah Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani. Karena
pada Bulan Muharam tahun 1214 H. Rasululloh SAW telah mengukuhkannya sebagai
Al-Quthub Al-Kamil, Al-Quthb Al-Jami’ dan Al-Quthb Al-Udzhma di Arafah. Seperti
keterangan terdahulu.
Istilah “Khatmu Al-Auliya” memang jarang
dibicarakan. Istilah ini diperkenalkan pertama oleh seorang wali agung Muhammad
bin Ali Al-Hakim At-Turmidzi (w. 255 H.) dalam kitabnya ‘Khatmu Al-Auliya’
(Penutup Para Wali). Selanjutnya, seorang wali quthub, yaitu Syeikh Ali bin
Muhammad Wafat (w. 807 H.) mempertegas keberadaannya. Sehingga akhirnya,
istilah ini muncul ke permukaan setelah pengarang “Futuhatul Makiyyah”, Syeikh
Muhyidin Ibnu Arabi Al-Hatami mengungkapkannya secara khusus dalam sebuah kitab
yang berjudul: “Anqaau Maghrib Fii Khatmi Al-Auliya Wa Syamsi Al-Maghrib”
(Bumi Maroko: Penutup Para Wali dan Mataharinya).
Di antara beberapa wali yang agung pun ada yang mengklaim sebagai ‘Khotmu
Al-Auliya’. Antara lain:
1. Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al-Jazuli, pengarang Dalailul Khairat.
2. Syeikh Ali bin Muhammad Wafa. Beliau mengatakan bahwa ayahnya, Muhammad
Wafa adalah Khatmu Al-Auliya. Namun pernyataan ini dicabut kembali.
3. Syeikh Al-Fasyasyi.
4. Syeikh Muhyidin Ibnu Arabi Al-Hatami. Setelah Beliau bermimpi melihat
Ka’bah yang dibangun dengan batu-bata emas dan perak. Hanya saja di puncaknya
(antara rukun Yamani dan Syami, lebih condong ke rukun Syami) terlihat kuarng
dua bata. Dalam mimpinya, Beliau memperhatikan hal tersebut. Dengan
kesadarannya beliau menganggap bahwa dirinyalah penutup dan penyempurna
bangunan Ka’bah. Setelah melalui penakwilan, Beliau menganggap telah mencapai
Khatmu L-Auliya. Maka dengan riang gembira, beliau mengalunkan syair:
Dengan kamilah Alloh menutup wilayah.
Maka bermuaralahlah wilayah kepada kami.
Karena itu, tidak ada khotam bagi orang setelah diriku.
Tiada keberuntungan dengan khotam bagi umat Muhammad.
Dan ilmunya kecuali diriku seorang.
Ketika sedang bersyair, Beliau mendengar bisikan:
“Apa yang kau duga dan harapkan bukan milikmu. Itu adalah milik seorang
wali di akhir zaman. Tidak ada wali yang lebih mulia di sisi Alloh SWT
melebihinya.” Akhirnya Beliau berkata, “Kuserahkan urusan ini kepada yang
menciptakan dan mewujudkan.”
Dengan pernyataannya ini, secara langsung Syeikh Muhyiddin bin Arabi
Al-Hatami telah mencabut klaimnya sebagai Khatmu Al-Auliya. Dalam arti sebagai
khatmu Al-Auliya Al-kubra.
Oleh karena itulah, Beliau mengarang Kitab Anqaa-u Maghrib Fii Khatmi
Al-Auliya Wa Syamsi Al-Maghrib (Bumi Maroko: Penutup Para Wali dan
Mataharinya). Kitab ini telah dicetak dan disebarluaskan.
Sejak saat itu sampai abad ke-12 hijriyah tidak terdengar kembali adanya
seorang wali yang mengklaim sebagai Khatmu Al-Auliya. Sehingga muncul
Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani.
Dalam Futuhatul Makiyah, Syeikh Muhyiddin Ibnu Arabi Al-Hatami memberikan
keterangan tentang identitas Khatmu Al-Auliya. Beliau mengatakan, “Saya telah
berjumpa dengannya (Khatmul Auliyail Muhammadi) secara barzakhiyah pada tahun
595 H. Saya melihat tanda yang disembunyikan Alloh dari hamba – hamba-Nya. Dia
berada di Fas, Maroko. Saya melihat tanda Khatmul Auliyail Muhammadi darinya.
Dia akan mendapat banyak cobaan karena banyak ilmu-ilmu robbani (ketuhanan)
yang mendalam.
6. Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani. Adalah seorang waliyulloh yang
agung dengan predikat Al-Quthbaniyatul Udzma Al-Kamil Al-Jami’. Beliau telah
dikukuhkan sebagai Khatm Al-Auliya oleh Rasululloh SAW secara langsung.
Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani mengatakan bahwa Sayid Al-Wujud
(Rasululloh SAW) telah mengabarkan kepadanya dalam keadaan jaga bahwa dirinya
adalah Al-Khatim Al-Muhammadi yang telah diketahui seluruh wali kutub dan
shidiqin. Bahwa tidak ada lagi maqam di atasnya dalam persoalan samudra Ma’rifat
Billah.
Beliau juga mengatakan, “Sayid Al-Wujud (Rasululloh SAW) telah
memberitahukan kepadaku bahwa sesungguhnya diriku adalah Al-Quthb Al-Maktum
darinya dengan musyafahah (berhadapan) dalam keadaan jaga, bukan dalam keadaan
tidur.”
Ketika diajukan pertanyaan kepada Syeikh Ahmad At-Tijani tentang, “Apakah
arti Al-Maktum ?”. Beliau menjawab, “yaitu wali yang disembunyikan oleh Alloh
SWT dari seluruh makhluk. Termasuk dari para malaikat dan para nabi. Kecuali
kepada Rasululloh SAW. Rasululloh mengetahui dirinya dan keadaannya.”
Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani berkata:
Saya adalah sayidul auliya seperti halnya Nabi Muhammad SAW adalah sayidul
anbiya.
Dalam Ad-Durr Al-Mandhum, Beliau menegaskan posisinya dalam berbagai
surat-suratnya kepada beberapa sahabatnya, “Sesungguhnya kedududkan kami di
sisi Alloh di akhirat tidak dapat dicapai oleh seorang wali pun sejak
berakhirnya masa sahabat sampai ditiupnya sangkakala. Tidak seorang wali pun
yang dapat menyusul kedudukan kami atau mendekatinya. Karena memang sangat jauh
dari beberapa tujuannya. Saya tidak berkata demikian kecuali setelah kudengar
langsung secara hak dari Rasululloh SAW. Tidak ada seorang wali pun yang dapat
memasukkan seluruh sahabatnya ke sorga tanpa hisab dan siksa, meskipun melakukan
dosa dan maksiat kecuali hanya diriku. Dan Rasululloh SAW telah menanggung
perkara mereka, yang tidak dapat kuterangkan. Perkara ini tidak dapat dilihat
dan diketahui kecuali di akhirat. Bersamaan dengan ini semua, bukan berarti
kami meremehkan kemuliaan sa-da-tu l-auliya. Kami pun tidak merendahkan
keagungannya. Maka agungkanlah kemuliaan para wali yang hidup atau pun yang
telah wafat. Sesungguhnya siapa yang mengagungkan kehormatan mereka, maka Alloh
akan mengagungkan kehormatannya. Dan siapa yang merendahkan mereka, maka Alloh
menghinakannya dan murka kepadanya. Janganlah kalian meremehkan kehormatan para
wali.”
Pada kenyataannya, setiap wali yang pernah menyatakan dirinya Khatm
Al-Auliya banyak yang mencabut kembali pernyataannya. Mereka yang telah menyatakannya
pun hanya pada batas tertentu (wilayat Al-khusus). Bukan secara umum dan luas
(a-mmah) dan menutup kewalian (dalam arti yang mencapai kedudukan sempurna)
yang terakhir. Karena Khatmat Al-Kubra (kesempurnaan paripurna terbesar) hanya
akan muncul di akhir zaman.
Di samping itu, maqam (kedudukan) Al-Khatmu adalah kedudukan yang sangat
tinggi yang sulit untuk dicapai seseorang, kecuali telah sampai pada maqam
(kedudukan) kutub. Sedangkan kutub sendiri merupakan kedudukan yang sangat
tinggi. Dalam tiap zamannya, seorang wali kutub merupakan sosok yang
mengumpulkan ahwal (beberapa kondisi kewalian), asrar (beberapa rahasia
ketuhanan) dan karomah (beberapa kemuliaan perilaku) dari auliya dan arifin
pada zaman tersebut. Akan tetapi, meskipun para kutub tersebut berserikat dalam
pencapaian kedudukan ini, mereka berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan
kekutubannya sesuai kadar masing-masing dalam pendakiannya. Sesuai urutan
derajat yang mereka cakup dan kumpulkan.
Qutub tertinggi merupakan kedudukan termulia posisinya. Yaitu yang mencapai
kedudukan Al-Khatmat Al-Ajall Al-Anfus (kesempurnaan jiwa tertinggi. Kedudukan
inilah yang disebut dengan Al-Khatm Al-Maqom (penutup seluruh kedudukan) di
antara orang-orang khos. Dalam Ad-Durr Al-Mandhum, pada bab Titimmatu s-sa-disah
(penutup keenam), tentang kedudukan khatmah (penutup/pamungkas), Imam
As-Sya’roni telah membicarakan kedudukan Al-Muhammadi. Bahwa kedudukan ini
merupakan kedudukan yang tidak mungkin dicapai seseorang kecuali telah melewati
247.799 hijab. Dan ini tidak terjadi pada tiap wali.
Dalam Ar-Risalat Al-Mubarakah, Imam Asy-Sya’rani telah menerangkan
ilmu-ilmu khos auliya. Bahwa beberapa ilmu tentang sifat-sifat khatim Al-auliya
ada dalam tiap kurun dan akan ditutup oleh penutupnya yang terbesar (khatim Al-akbar).
Seperti halnya Nabi Muhammad SAW telah menutup nabi-nabi sebelumnya. Khatim
AL-Akbar yang menjadi penutup maqam Muhammadi tersebut, tidak lain adalah
Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani. Sesuai penyampaian Rasululloh SAW.
Kedudukan ini selanjutnya tidak akan pernah dicapai oleh seorang pun
setelahnya. Seperti telah disampaikan oleh Sayyid Muhammad Al-Kansusi, salah
seorang Khalifah At-Tijani.
Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani menerangkan tentang hakikat wilayah.
Bahwa wilayah terbagi menjadi dua, yaitu: Wilayah ‘A-mmah (umum) dan Wilayah
Khosh-shoh (khusus). Wilayah ‘a-mmah ialah wilayah sejak Nabi Adam a.s. sampai
Nabi Isa a.s.. Sedangkan Wilayah Khosh-shoh ialah sejak Rasululloh Saw sampai
Al-Khatmu (penutup). Arti dari khosh-shoh adalah wali yang berakhlak dengan
akhlak Al-Hak yang berjumlah 300 akhlak secara sempurna. Sebagaimana sabdanya:
Sesungguhnya Alloh memiliki 300 akhlak. Siapa yang berakhlak dengan salah
satunya, maka Alloh memasukkannya ke dalam sorga.
Akhlak Ilahiyah ini hanya terkumpul sempurna dalam diri Rasululloh SAW dan
wali-wali kutub sebagai pewarisnya sampai Wali Qutub Penutup. Mereka dinamakan
Al-Muhammadiyyiin. Secara hukum, kedudukan wali qutub penutup/Al-Khatmu
merupakan hukum waris dari Nabi SAW kepada wali-wali qutub Al-Muhammadiyyin
yang telah berakhlak dengan 300 akhlak Ilahiyah. Mereka adalah orang-orang
besar golongan qutub ahli wilayah batin yang khos-shoh. Karena wilayah telah
terbagi menjadi wilayah dlahir dan wilayah batin. Wilayah dlahir berkecimpung
dalam pengaturan pemerintahan dan perkara lahir. Wilayah dlahir akan ditutup
oleh Imam Mahdi L-Muntadhar yang akan muncul di akhir zaman.
Wilayah batin bergerak dalam pengaturan batin. Wilayah batin ini pun
terbagi dua, yaitu wilayah‘a-mmah (umum) dan khosh-shoh (khusus). Wilayah
‘a-mmah ialah wilayah sejak Nabi Adam a.s. sampai Nabi Isa a.s. Sedangkan
wilayah khosh-shoh ialah wilayah sejak Rasululloh SAW sampai Al-Khatm Al-Akbar
(penutup qutub terbesar). Seluruh wali qutub yang telah idrak (menemukan)
kedudukan Khatm Al-Quthbaniyah (kesempurnaan qutub) adalah Ahli Wilayah (Batin
Khosh-shoh(. Tiap wali yang telah mencapai kedudukan khatmiyah (kesempurnaan)
dinamakan wali khatam. Sehingga muncul Al-Khatm Al-Akbar yang akan menutup
wilayah khosh-shoh sebagai puncaknya. Al-Khatm Al-Akbar hanya ada satu dalam
satu zaman, yaitu sejak Nabi SAW. Di mana hatinya berada dalam hati Nabi
Muhammad SAW.
Kedudukan khatm Al-auliya Al-kubra sebagai al-quthb Al-maktum merupakan
kedudukan qutub terakhir yang disembunyikan Alloh SWT dari seluruh makhluk.
Kecuali kepada Rasululloh SAW. Sepanjang catatan, tidak ada seorang wali pun
yang mengklaim dirinya sebagai al-quthb Al-maktum. Sehingga muncul Syeikh Ahmad
bin Muhammad At-Tijani. Dalam hal ini Beliau berkata:
“Sayidul wujud (Rasululloh SAW) telah mengabarkan kepadaku bahwa
sesungguhnya diriku adalah al-quthb al-maktum darinya dengan dengan musyafahah
(berhadapan) dalam keadaan jaga, bukan dalam keadaan tidur.”
Ketika diajukan pertanyaan kepada Syeikh Ahmad At-Tijani tentang, “Apakah
arti Al-Maktum ?” Beliau menjawab:
“Ialah seorang wali yang disembunyikan oleh Alloh SWT dari seluruh makhluk.
Termasuk dari para malaikat dan para nabi. Kecuali kepada Rasululloh SAW.
Rasululloh mengetahui dirinya dan keadaannya. Ia memperoleh tiap kesempurnaan
ilahiyah yang ada pada seluruh wali”
Al-Maktum secara etimologi berasal dari Ùƒ – ت – Ù… . Artinya yang
dirahasiakan dan tersembunyi. Sedangkan al-maktu-m secara istilah, sebagimana
dalam Bughyah: 147 adalah seorang wali kutub yang dirahasiakan dan disembunyikan
sosoknya oleh Alloh SWT dari seluruh makhluk. Kecuali Rasululloh SAW. Pemilik
kedudukan ini mutlak pilihan Alloh SWT.
Al-maktu-m adalah kedudukan yang sangat khusus dan tertinggi. Tidak ada
kedudukan lagi di atasnya dari beberapa kedudukan arifin dan shidiqin kecuali
kedudukan sahabat. Kedudukan suhbah (sahabat) merupakan kedudukan yang tidak
dapat dilampaui keutamaannya kecuali oleh para nabi.
Dalam Al-Jami’ Lima Af-taraa Min Durari Al-‘Ulu-m Wal Fa-idhatu Min
Bahri Al-Quthbi Al-Maktu-m, Sayid Muhammad bin Al-Misyri As-Saba-ihi, salah
seorang khasanah rahasia Syeikh Ahmad At-Tijani menjelaskan: “Kesimpulannya
adalah bahwa sebagaimana hakikat sosok Nabi Muhammad SAW yang hanya diketahui
oleh Alloh SWT dan Nabi sendiri. Artinya tidak diketahui oleh seluruh nabi dan
rasul lainnya. Demikian pula al-quthbu al-maktum. Hakikat sosoknya
disembunyikan tidak diketahui oleh seorang pun kecuali Alloh SWT dan Rasululloh
SAW. Dan Alloh memperlihatkan kepada pemiliknya. Tidak ada jalan kepada para
wali lainnya melihat kedudukan tersebut.
Syeikh Muhyiddin bin Arobi Al-Hatam mengaku telah melihat kedudukan
al-maktum dengan bashirahnya (mata hati), namanya, negaranya, tempatnya dan
keadaannya. Tidak lebih dari itu. Karena selanjutnya, Beliau menyerahkan
kembali urusan Al-khatimatu Al-Kubra Al-Muhammadi kepada Alloh SWT tidak
memperdalam pembahasannya.
Kedudukan al-maktum itu diberikan oleh Rasululloh SAW kepada Syeikh Ahmad
bin Muhammad At-Tijani. Dalam hal ini, Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani
memperoleh tiga penobatan oleh Rasululloh SAW, yaitu:
1. Kedudukan Al-Quthbaniyah Al-Udzma (kutub terbesar). Yaitu pada awal-awal
Muharrom 1214 H.
2. Kedudukan Khatimah Al-Muhammadiyah (penutup kewalian yang secara
sempurna mengambil asror Nabi Muhammad SAW) pada hari yang sama.
3. Kedudukan Al-Katimah Al-Khash (wali khos yang tersembunyi). Yaitu pada
tanggal 18 Shafar 1214.
Sebagian di antara keistimewaan kedudukan al-maktum adalah bahwa Al-Haq
bertajalli 100.000 kali dalam kejap pertamanya. Di mana dalam satu tajalli
diberikan 100.000 macam anugerah seperti yang diberikan kepada penduduk sorga.
Kemudian dalam kejap selanjutnya diberikan kesabaran menghadapai beberapa
tajalli-Nya. Demikian terus menerus tanpa ada batasnya.
Al-maktum juga merupakan sumber Faidh (cucuran rahmat) yang berupa Imdad
(pertolongan) yang dilakukan oleh para qutub untuk seluruh alam semesta. Tanpa
disadari karena adanya penghalang/hijab, para qutub telah mengambil
perantaraannya dalam memberikan Faidh.Al-maktum memberikan Faidh Hakikatul
Muhammadiyah kepada mereka dalam hidupnya. Nisbat para qutub dengan al-maktum
adalah seperti nisbat orang umum kepada qutub sendiri. Karena kedudukan
al-maktum dalam kegaibannya tidak diketahui oleh seorang pun. Baik di dunia,
maupun di akhirat.
Dalam kesempurnaan kedudukannya tidak bisa dibandingkan dengan seluruh
kedudukan lainnya. Seperti kedudukan Rasululloh SAW yang mencakup seluruh
kedudukan kenabian. Karena tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikatul
muhammadiyah kecuali Alloh SWT. Demikian pula al-maktum. Dia telah menjadi
penolong pada seluruh wali dalam zaman dahulu dan zaman kemudian. Hakikatnya
tidak dapat diketahui siapa pun, kecuali Alloh dan Rasululloh SAW.
Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani telah meminta kepada Rasululloh SAW
untuk mengumpulkan seluruh Kedudukan qutbaniyah dan Fardaniyah. Rasululloh SAW
mengabulkan permintaan tersebut dan menjaminnya. Sebagaimana yang disampaikan
Abul Mawahib Al-Arabi bin Sa-ih. Kedudukan Fardaniyah merupakan kedudukan para
shadiqin dan kenabian (di luar risalah) dan lainnya.
Dalam arti dalam dirinya terkumpul segala hal yang telah dikhususkan untuk
mereka. Bersamaan dengan itu melebihi mereka dari sisi lainnya. Yaitu dari sisi
jami’nya.