Tuesday, February 25, 2014

DOWNLOAD MUROTTAL ALQUR'AN 30 JUZ H. MUAMMAR ZA PER SURAT - PER JUZ


Assalamualaikum Wr. Wb.
dengan adanya link download murottal Al-qur'an 30 Juz ini semoga hal ini bisa bermanfaat
karena sesungguhnya dengan mendengarkan lantunan ayat ayat suci alqur'an saja Allah SWT. sudah memberikan kita pahala. lebih lebih jika kita dapat hafal beberapa ayat ayat Al-quran hanya karena sering mendengarkannya, sungguh keuntungan yang sangat besar untuk kita.. Subhanallah...
silahkan.

Download Murottal AlQur’an H. Muammar ZA. Per JUZ :

Mp3 Murottal Al-Qur’an 30 Juz H. Muammar Z.A
Juz Surah Size (MP3) Download
1 Al Fatihah (ayat 1)- Al Baqarah (Ayat 141) 22,23 KB Download
2 Al Baqarah (Ayat 142) – Al Baqarah (Ayat 252) 23.42 KB Download
3 Al Baqarah (Ayat 253) – Ali Imran ( Ayat 91) 23.10 KB Download
4 Ali Imran ( Ayat 92) – Annisa (Ayat 23) 21.20 KB Download
5 Annisa (Ayat 24) – Annisa (Ayat 147) 21.80 KB Download
6 Annisa (Ayat 148) – Al Maidah (Ayat 82) 22.70 KB Download
7 Al Maidah (Ayat 83) – Al An’am (Ayat 110) 24.56 KB Download
8 Al An’am (Ayat 111) – Al A’raf (Ayat 87) 24.85 KB Download
9 Al A’raf (Ayat 88) – Al Anfal (Ayat 40) 24.51 KB Download
10 Al Anfal (Ayat 41) – At Taubah (Ayat 93) 24.39 KB Download
11 At Taubah (Ayat 94) – Hud ( Ayat 5) 25.78 KB Download
12 Hud ( Ayat 6) – Yusuf ( Ayat 52) 23.68 KB Download
13 Yusuf ( Ayat 53) – Al Hijr ( Ayat 1) 24.88 KB Download
14 Al Hijr ( Ayat 2) – ANNahl (Ayat 128) 22.07 KB Download
15 AL Israa/Bani Israil (Ayat 1) – Al Kahfi (Ayat 74) 23.59 KB Download
16 Al Kahfi (Ayat 75) – Taha ( Ayat 135) 23.86 KB Download
17 Al Anbiya ( Ayat 1) – Al Hajj ( Ayat 78) 21.73 KB Download
18 Al Mu’minun (Ayat 1) – Al Furqan ( Ayat 20) 25.34 KB Download
19 Al Furqon ( Ayat 21) – AnNaml (Ayat 59) 25.20 KB Download
20 AnNaml (Ayat 60) – AlAnkabut (Ayat 44) 24.45 KB Download
21 AlAnkabut (Ayat 45)- Al Ahzab (Ayat 30) 25.46 KB Download
22 Al Ahzab (Ayat 31) – Yaasin (Ayat 21) 24.05 Kb Download
23 Yaasin (Ayat 22) – Az Zumar (Ayat 31) 24.32 KB Download
24 Az Zumar (Ayat 32) – Assajdah (Ayat 46) 23.55 KB Download
25 Assajdah (Ayat 47) – Al Jasiyah (Ayat 37) 24.41 KB Download
26 AlAhqaf (Ayat 1) – Az Zariyat (Ayat 30) 24.34 KB Download
27 Az Zariyat (Ayat 31) – Al Hadid (Ayat 29) 24.84 KB Download
28 Al Mujadilah (Ayat 1) – At Tahrim (Ayat 12) 24.60 KB Download
29 Al Mulk (Ayat 1) – Al Mursalat (Ayat 50) 24.53 KB Download
30 An Naba (Ayat 1) – AnNas (Ayat 6) 21.68 KB Download

Download Murottal AlQur’an H. Muammar ZA Per Surah :
  1. Surah an-Nas

    semoga bermanfaat amin.


Saturday, February 8, 2014

Syekh Ahmad Tijani RA. Pemegang Derajat Khatamul Auliya'



AL-Quthbi Al-Kamil
Khatmu Al-Auliyai Al-Maktum
Secara etimologi (bahasa), qutub berasal dari kata Ø· - ب - Ù‚. Artinyabintang terindah. Sedangkan secara istilah, qutub adalah manusia terbaik yang mengumpulkan seluruh keutamaan. Baik dalam sifat kemanusiaan, ibadah dan kedekatannya dengan Alloh. Seorang qutub merupakan Khalifah Rasulillah SAW dalam menjaga keseimbangan alam.Setiap masa hanya ada satu orang kutub. Ibnu Hajar menjelaskan, kata abdal telah masyhur dalam sejumlah khabar dan qutub telah ditemukan dalam beberapa atsar. Sedangkan kata ghauts tidak ditemukan sumbernya. Jalaluddin As-Suyuthi telah mengetengahkan akan adanya qutub, autad dan abdal dalam kitabnya Al-Khabarud Dallu ‘Ala Wujudil Quthbi Wal Autadi Wan Nujabai Wal Abdalli. Keterangan ini menunjukkan adanya qutub. Berbeda dengan ghauts yang tidak ada penunjukkan. Hal ini berdasarkan pada hadits dan atsar yang ditemukan.
Adapun ghauts secara istilah adalah persamaan dari qutub. Ghauts merupakan sosok qutub yang sempurna (Al-Quthb Al-Kamil wa Al-Jami). Dari sini dapat dimengerti bahwa kemutlakan kata ghauts atas al-quthbu al-jami’ adalah istilah yang baru muncul di antara para wali. Berbeda denga kata qutub yang telah ditemukan dalam beberapa atsar. Kekhususan Al-Quthbu Al-Kamil wa Al-Jami ini sangat banyak. Di antaranya adalah mengetahui ismu Al-a’dham dengan seluruh bentuk, huruf, lafal, jumlah, tujuan dan waktunya. Sebagian dari ismu Al-a’dham ini ada yang boleh diijazahkan kepada beberapa orang sahabatnya dan ada pula yang tidak diperbolehkan. Karena besarnya anugerah, martabat lahir atau batinnya dan inti batinnya. Sebagaimana keterangan dalam Jawahirulma’ani, Kanzi Al-Muthlasam dan beberapa risalah Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani.
Al-Quthbu Al-Kamil wa Al-Jami mempunyai 366 dzat sesuai jumlah hari kabisat. Seperti telah diterangkan As-Sya’rani dari gurunya, Al-Khawas r.a. keterangan ini juga disampaikan oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani r.a. dalam Jawahiru Al-Ma’ani.
Ibnu Asakir dan Al-Khatib telah mengutip keterangan dari Ubaidillah bin Muhammad Al-abbas, bahwa Al-kannani mengatakan, “Wali nuqaba berjumlah 300 orang. Wali nujaba berjumlah 70 orang. Wali abdal berjumlah 40 orang. Wali akhyar berjumlah 7 orang. Wali amal berjumlah 4 orang. Wali ghauts hanya seorang. Menurut Ibnu Khaldun, kedudukan qutub merupakan kedudukan tertinggi. Sebagian orang arif mengatakan bahwa Wali Qutub adalah seorang wali yang disinyalir dalam Hadits Ibnu Mas’ud, hatinya berada dalam hati Malaikat Israfil. Wali Qutub merupakan poros dan markas dari seluruh wali.
Imam jalaluddin As-Suyuthi telah meriwayatkan dari Ibnu Asakir dan Abu Nu’aim dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasululloh SAW bersabda, “Sesungguhnya Alloh juga mempunyai 40 orang di antara makhluk-Nya yang hatinya berada dalam hati Nabi Musa a.s. Alloh juga mempunyai 7 orang di antara makhluk-Nya yang hatinya berada dalam hati Nabi Ibrahim a.s. Alloh juga mempunyai 5 orang di antara makhluk-Nya yang hatinya berada dalam hati Malaikat Jibril a.s. Alloh juga mempunyai 3 orang di antara makhluk-Nya yang hatinya berada dalam hati Malaikat Mikail a.s. Alloh juga mempunyai satu orang di antara makhluk-Nya yang hatinya berada dalam Malaikat Israfil a.s. Jika yang seorang tersebut meninggal, maka Alloh SWT akan menggantikan kedudukannnya dari yang 3 orang. Jika yang 3 orang telah meninggal, maka Alloh SWT akan menggantikan kedudukannnya dari yang 5 orang. Jika yang 5 orang telah meninggal, maka Alloh SWT akan menggantikan kedudukannnya dari yang 7 orang. Jika yang 7 orang telah meninggal, maka Alloh SWT akan menggantikan kedudukannnya dari yang 40 orang. Jika yang 40 orang telah meninggal, maka Alloh SWT akan menggantikan kedudukannnya dari yang 300 orang. Jika yang 300 orang telah meninggal, maka Alloh SWT akan menggantikan kedudukannnya dari orang umum.
Dengan sebab merekalah Alloh menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan, menumbuhkan tumbuhan dan menolak bahaya.”
Shahibul Muniyah telah bersyair:


Dalam Bulan Muharam esok, akan muncul ghauts yang memberi petunjuk.
Yaitu khalifah dari al-muhaimin al-majid (Alloh).
Alloh telah memberikan kedudukan tersebut kepada guru kami di Arafah.
Seperti yang telah diceritakan oleh orang yang hak dan mengetahuinya.
Ghauts yang dimaksud adalah Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani. Karena pada Bulan Muharam tahun 1214 H. Rasululloh SAW telah mengukuhkannya sebagai Al-Quthub Al-Kamil, Al-Quthb Al-Jami’ dan Al-Quthb Al-Udzhma di Arafah. Seperti keterangan terdahulu.
Istilah “Khatmu Al-Auliya” memang  jarang dibicarakan. Istilah ini diperkenalkan pertama oleh seorang wali agung Muhammad bin Ali Al-Hakim At-Turmidzi (w. 255 H.) dalam kitabnya ‘Khatmu Al-Auliya’ (Penutup Para Wali). Selanjutnya, seorang wali quthub, yaitu Syeikh Ali bin Muhammad Wafat (w. 807 H.) mempertegas keberadaannya. Sehingga akhirnya, istilah ini muncul ke permukaan setelah pengarang “Futuhatul Makiyyah”, Syeikh Muhyidin Ibnu Arabi Al-Hatami mengungkapkannya secara khusus dalam sebuah kitab yang berjudul: “Anqaau Maghrib Fii Khatmi Al-Auliya Wa Syamsi Al-Maghrib” (Bumi Maroko: Penutup Para Wali dan Mataharinya).
Di antara beberapa wali yang agung pun ada yang mengklaim sebagai ‘Khotmu Al-Auliya’. Antara lain:
1. Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al-Jazuli, pengarang Dalailul Khairat.
2. Syeikh Ali bin Muhammad Wafa. Beliau mengatakan bahwa ayahnya, Muhammad Wafa adalah Khatmu Al-Auliya. Namun pernyataan ini dicabut kembali.
3. Syeikh Al-Fasyasyi.
4. Syeikh Muhyidin Ibnu Arabi Al-Hatami. Setelah Beliau bermimpi melihat Ka’bah yang dibangun dengan batu-bata emas dan perak. Hanya saja di puncaknya (antara rukun Yamani dan Syami, lebih condong ke rukun Syami) terlihat kuarng dua bata. Dalam mimpinya, Beliau memperhatikan hal tersebut. Dengan kesadarannya beliau menganggap bahwa dirinyalah penutup dan penyempurna bangunan Ka’bah. Setelah melalui penakwilan, Beliau menganggap telah mencapai Khatmu L-Auliya. Maka dengan riang gembira, beliau mengalunkan syair:

Dengan kamilah Alloh menutup wilayah.
Maka bermuaralahlah wilayah kepada kami.
Karena itu, tidak ada khotam bagi orang setelah diriku.
Tiada keberuntungan dengan khotam bagi umat Muhammad.
Dan ilmunya kecuali diriku seorang.
Ketika sedang bersyair, Beliau mendengar bisikan:

“Apa yang kau duga dan harapkan bukan milikmu. Itu adalah milik seorang wali di akhir zaman. Tidak ada wali yang lebih mulia di sisi Alloh SWT melebihinya.” Akhirnya Beliau berkata, “Kuserahkan urusan ini kepada yang menciptakan dan mewujudkan.”
Dengan pernyataannya ini, secara langsung Syeikh Muhyiddin bin Arabi Al-Hatami telah mencabut klaimnya sebagai Khatmu Al-Auliya. Dalam arti sebagai khatmu Al-Auliya Al-kubra.
Oleh karena itulah, Beliau mengarang Kitab Anqaa-u Maghrib Fii Khatmi Al-Auliya Wa Syamsi Al-Maghrib (Bumi Maroko: Penutup Para Wali dan Mataharinya). Kitab ini telah dicetak dan disebarluaskan.
Sejak saat itu sampai abad ke-12 hijriyah tidak terdengar kembali adanya seorang wali yang mengklaim sebagai Khatmu Al-Auliya. Sehingga muncul Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani.
Dalam Futuhatul Makiyah, Syeikh Muhyiddin Ibnu Arabi Al-Hatami memberikan keterangan tentang identitas Khatmu Al-Auliya. Beliau mengatakan, “Saya telah berjumpa dengannya (Khatmul Auliyail Muhammadi) secara barzakhiyah pada tahun 595 H. Saya melihat tanda yang disembunyikan Alloh dari hamba – hamba-Nya. Dia berada di Fas, Maroko. Saya melihat tanda Khatmul Auliyail Muhammadi darinya. Dia akan mendapat banyak cobaan karena banyak ilmu-ilmu robbani (ketuhanan) yang mendalam.
6. Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani. Adalah seorang waliyulloh yang agung dengan predikat Al-Quthbaniyatul Udzma Al-Kamil Al-Jami’. Beliau telah dikukuhkan sebagai Khatm Al-Auliya oleh Rasululloh SAW secara langsung.
Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani mengatakan bahwa Sayid Al-Wujud (Rasululloh SAW) telah mengabarkan kepadanya dalam keadaan jaga bahwa dirinya adalah Al-Khatim Al-Muhammadi yang telah diketahui seluruh wali kutub dan shidiqin. Bahwa tidak ada lagi maqam di atasnya dalam persoalan samudra Ma’rifat Billah.
Beliau juga mengatakan, “Sayid Al-Wujud (Rasululloh SAW) telah memberitahukan kepadaku bahwa sesungguhnya diriku adalah Al-Quthb Al-Maktum darinya dengan musyafahah (berhadapan) dalam keadaan jaga, bukan dalam keadaan tidur.”
Ketika diajukan pertanyaan kepada Syeikh Ahmad At-Tijani tentang, “Apakah arti Al-Maktum ?”. Beliau menjawab, “yaitu wali yang disembunyikan oleh Alloh SWT dari seluruh makhluk. Termasuk dari para malaikat dan para nabi. Kecuali kepada Rasululloh SAW. Rasululloh mengetahui dirinya dan keadaannya.”
Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani berkata:


Saya adalah sayidul auliya seperti halnya Nabi Muhammad SAW adalah sayidul anbiya.
Dalam Ad-Durr Al-Mandhum, Beliau menegaskan posisinya dalam berbagai surat-suratnya kepada beberapa sahabatnya, “Sesungguhnya kedududkan kami di sisi Alloh di akhirat tidak dapat dicapai oleh seorang wali pun sejak berakhirnya masa sahabat sampai ditiupnya sangkakala. Tidak seorang wali pun yang dapat menyusul kedudukan kami atau mendekatinya. Karena memang sangat jauh dari beberapa tujuannya. Saya tidak berkata demikian kecuali setelah kudengar langsung secara hak dari Rasululloh SAW. Tidak ada seorang wali pun yang dapat memasukkan seluruh sahabatnya ke sorga tanpa hisab dan siksa, meskipun melakukan dosa dan maksiat kecuali hanya diriku. Dan Rasululloh SAW telah menanggung perkara mereka, yang tidak dapat kuterangkan. Perkara ini tidak dapat dilihat dan diketahui kecuali di akhirat. Bersamaan dengan ini semua, bukan berarti kami meremehkan kemuliaan sa-da-tu l-auliya. Kami pun tidak merendahkan keagungannya. Maka agungkanlah kemuliaan para wali yang hidup atau pun yang telah wafat. Sesungguhnya siapa yang mengagungkan kehormatan mereka, maka Alloh akan mengagungkan kehormatannya. Dan siapa yang merendahkan mereka, maka Alloh menghinakannya dan murka kepadanya. Janganlah kalian meremehkan kehormatan para wali.”
Pada kenyataannya, setiap wali yang pernah menyatakan dirinya Khatm Al-Auliya banyak yang mencabut kembali pernyataannya. Mereka yang telah menyatakannya pun hanya pada batas tertentu (wilayat Al-khusus). Bukan secara umum dan luas (a-mmah) dan menutup kewalian (dalam arti yang mencapai kedudukan sempurna) yang terakhir. Karena Khatmat Al-Kubra (kesempurnaan paripurna terbesar) hanya akan muncul di akhir zaman.
Di samping itu, maqam (kedudukan) Al-Khatmu adalah kedudukan yang sangat tinggi yang sulit untuk dicapai seseorang, kecuali telah sampai pada maqam (kedudukan) kutub. Sedangkan kutub sendiri merupakan kedudukan yang sangat tinggi. Dalam tiap zamannya, seorang wali kutub merupakan sosok yang mengumpulkan ahwal (beberapa kondisi kewalian), asrar (beberapa rahasia ketuhanan) dan karomah (beberapa kemuliaan perilaku) dari auliya dan arifin pada zaman tersebut. Akan tetapi, meskipun para kutub tersebut berserikat dalam pencapaian kedudukan ini, mereka berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan kekutubannya sesuai kadar masing-masing dalam pendakiannya. Sesuai urutan derajat yang mereka cakup dan kumpulkan.
Qutub tertinggi merupakan kedudukan termulia posisinya. Yaitu yang mencapai kedudukan Al-Khatmat Al-Ajall Al-Anfus (kesempurnaan jiwa tertinggi. Kedudukan inilah yang disebut dengan Al-Khatm Al-Maqom (penutup seluruh kedudukan) di antara orang-orang khos. Dalam Ad-Durr Al-Mandhum, pada bab Titimmatu s-sa-disah (penutup keenam), tentang kedudukan khatmah (penutup/pamungkas), Imam As-Sya’roni telah membicarakan kedudukan Al-Muhammadi. Bahwa kedudukan ini merupakan kedudukan yang tidak mungkin dicapai seseorang kecuali telah melewati 247.799 hijab. Dan ini tidak terjadi pada tiap wali.
Dalam Ar-Risalat Al-Mubarakah, Imam Asy-Sya’rani telah menerangkan ilmu-ilmu khos auliya. Bahwa beberapa ilmu tentang sifat-sifat khatim Al-auliya ada dalam tiap kurun dan akan ditutup oleh penutupnya yang terbesar (khatim Al-akbar). Seperti halnya Nabi Muhammad SAW telah menutup nabi-nabi sebelumnya. Khatim AL-Akbar yang menjadi penutup maqam Muhammadi tersebut, tidak lain adalah Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani. Sesuai penyampaian Rasululloh SAW. Kedudukan ini selanjutnya tidak akan pernah dicapai oleh seorang pun setelahnya. Seperti telah disampaikan oleh Sayyid Muhammad Al-Kansusi, salah seorang Khalifah At-Tijani.
Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani menerangkan tentang hakikat wilayah. Bahwa wilayah terbagi menjadi dua, yaitu: Wilayah ‘A-mmah (umum) dan Wilayah Khosh-shoh (khusus). Wilayah ‘a-mmah ialah wilayah sejak Nabi Adam a.s. sampai Nabi Isa a.s.. Sedangkan Wilayah Khosh-shoh ialah sejak Rasululloh Saw sampai Al-Khatmu (penutup). Arti dari khosh-shoh adalah wali yang berakhlak dengan akhlak Al-Hak yang berjumlah 300 akhlak secara sempurna. Sebagaimana sabdanya:

Sesungguhnya Alloh memiliki 300 akhlak. Siapa yang berakhlak dengan salah satunya, maka Alloh memasukkannya ke dalam sorga.
Akhlak Ilahiyah ini hanya terkumpul sempurna dalam diri Rasululloh SAW dan wali-wali kutub sebagai pewarisnya sampai Wali Qutub Penutup. Mereka dinamakan Al-Muhammadiyyiin. Secara hukum, kedudukan wali qutub penutup/Al-Khatmu merupakan hukum waris dari Nabi SAW kepada wali-wali qutub Al-Muhammadiyyin yang telah berakhlak dengan 300 akhlak Ilahiyah. Mereka adalah orang-orang besar golongan qutub ahli wilayah batin yang khos-shoh. Karena wilayah telah terbagi menjadi wilayah dlahir dan wilayah batin. Wilayah dlahir berkecimpung dalam pengaturan pemerintahan dan perkara lahir. Wilayah dlahir akan ditutup oleh Imam Mahdi L-Muntadhar yang akan muncul di akhir zaman.
Wilayah batin bergerak dalam pengaturan batin. Wilayah batin ini pun terbagi dua, yaitu wilayah‘a-mmah (umum) dan khosh-shoh (khusus). Wilayah ‘a-mmah ialah wilayah sejak Nabi Adam a.s. sampai Nabi Isa a.s. Sedangkan wilayah khosh-shoh ialah wilayah sejak Rasululloh SAW sampai Al-Khatm Al-Akbar (penutup qutub terbesar). Seluruh wali qutub yang telah idrak (menemukan) kedudukan Khatm Al-Quthbaniyah (kesempurnaan qutub) adalah Ahli Wilayah (Batin Khosh-shoh(. Tiap wali yang telah mencapai kedudukan khatmiyah (kesempurnaan) dinamakan wali khatam. Sehingga muncul Al-Khatm Al-Akbar yang akan menutup wilayah khosh-shoh sebagai puncaknya. Al-Khatm Al-Akbar hanya ada satu dalam satu zaman, yaitu sejak Nabi SAW. Di mana hatinya berada dalam hati Nabi Muhammad SAW.
Kedudukan khatm Al-auliya Al-kubra sebagai al-quthb Al-maktum merupakan kedudukan qutub terakhir yang disembunyikan Alloh SWT dari seluruh makhluk. Kecuali kepada Rasululloh SAW. Sepanjang catatan, tidak ada seorang wali pun yang mengklaim dirinya sebagai al-quthb Al-maktum. Sehingga muncul Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani. Dalam hal ini Beliau berkata:
 “Sayidul wujud (Rasululloh SAW) telah mengabarkan kepadaku bahwa sesungguhnya diriku adalah al-quthb al-maktum darinya dengan dengan musyafahah (berhadapan) dalam keadaan jaga, bukan dalam keadaan tidur.”
Ketika diajukan pertanyaan kepada Syeikh Ahmad At-Tijani tentang, “Apakah arti Al-Maktum ?” Beliau menjawab:

“Ialah seorang wali yang disembunyikan oleh Alloh SWT dari seluruh makhluk. Termasuk dari para malaikat dan para nabi. Kecuali kepada Rasululloh SAW. Rasululloh mengetahui dirinya dan keadaannya. Ia memperoleh tiap kesempurnaan ilahiyah yang ada pada seluruh wali”
Al-Maktum secara etimologi berasal dari Ùƒ – ت – Ù… . Artinya yang dirahasiakan dan tersembunyi. Sedangkan al-maktu-m secara istilah, sebagimana dalam Bughyah: 147 adalah seorang wali kutub yang dirahasiakan dan disembunyikan sosoknya oleh Alloh SWT dari seluruh makhluk. Kecuali Rasululloh SAW. Pemilik kedudukan ini mutlak pilihan Alloh SWT.
Al-maktu-m adalah kedudukan yang sangat khusus dan tertinggi. Tidak ada kedudukan lagi di atasnya dari beberapa kedudukan arifin dan shidiqin kecuali kedudukan sahabat. Kedudukan suhbah (sahabat) merupakan kedudukan yang tidak dapat dilampaui keutamaannya kecuali oleh para nabi.
Dalam Al-Jami’ Lima Af-taraa Min Durari Al-‘Ulu-m Wal Fa-idhatu Min Bahri Al-Quthbi Al-Maktu-m, Sayid Muhammad bin Al-Misyri As-Saba-ihi, salah seorang khasanah rahasia Syeikh Ahmad At-Tijani menjelaskan: “Kesimpulannya adalah bahwa sebagaimana hakikat sosok Nabi Muhammad SAW yang hanya diketahui oleh Alloh SWT dan Nabi sendiri. Artinya tidak diketahui oleh seluruh nabi dan rasul lainnya. Demikian pula al-quthbu al-maktum. Hakikat sosoknya disembunyikan tidak diketahui oleh seorang pun kecuali Alloh SWT dan Rasululloh SAW. Dan Alloh memperlihatkan kepada pemiliknya. Tidak ada jalan kepada para wali lainnya melihat kedudukan tersebut.
Syeikh Muhyiddin bin Arobi Al-Hatam mengaku telah melihat kedudukan al-maktum dengan bashirahnya (mata hati), namanya, negaranya, tempatnya dan keadaannya. Tidak lebih dari itu. Karena selanjutnya, Beliau menyerahkan kembali urusan Al-khatimatu Al-Kubra Al-Muhammadi kepada Alloh SWT tidak memperdalam pembahasannya.
Kedudukan al-maktum itu diberikan oleh Rasululloh SAW kepada Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani. Dalam hal ini, Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani memperoleh tiga penobatan oleh Rasululloh SAW, yaitu:
1. Kedudukan Al-Quthbaniyah Al-Udzma (kutub terbesar). Yaitu pada awal-awal Muharrom 1214 H.
2. Kedudukan Khatimah Al-Muhammadiyah (penutup kewalian yang secara sempurna mengambil asror Nabi Muhammad SAW) pada hari yang sama.
3. Kedudukan Al-Katimah Al-Khash (wali khos yang tersembunyi). Yaitu pada tanggal 18 Shafar 1214.
Sebagian di antara keistimewaan kedudukan al-maktum adalah bahwa Al-Haq bertajalli 100.000 kali dalam kejap pertamanya. Di mana dalam satu tajalli diberikan 100.000 macam anugerah seperti yang diberikan kepada penduduk sorga. Kemudian dalam kejap selanjutnya diberikan kesabaran menghadapai beberapa tajalli-Nya. Demikian terus menerus tanpa ada batasnya.
Al-maktum juga merupakan sumber Faidh (cucuran rahmat) yang berupa Imdad (pertolongan) yang dilakukan oleh para qutub untuk seluruh alam semesta. Tanpa disadari karena adanya penghalang/hijab, para qutub telah mengambil perantaraannya dalam memberikan Faidh.Al-maktum memberikan Faidh Hakikatul Muhammadiyah kepada mereka dalam hidupnya. Nisbat para qutub dengan al-maktum adalah seperti nisbat orang umum kepada qutub sendiri. Karena kedudukan al-maktum dalam kegaibannya tidak diketahui oleh seorang pun. Baik di dunia, maupun di akhirat.
Dalam kesempurnaan kedudukannya tidak bisa dibandingkan dengan seluruh kedudukan lainnya. Seperti kedudukan Rasululloh SAW yang mencakup seluruh kedudukan kenabian. Karena tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikatul muhammadiyah kecuali Alloh SWT. Demikian pula al-maktum. Dia telah menjadi penolong pada seluruh wali dalam zaman dahulu dan zaman kemudian. Hakikatnya tidak dapat diketahui siapa pun, kecuali Alloh dan Rasululloh SAW.
Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani telah meminta kepada Rasululloh SAW untuk mengumpulkan seluruh Kedudukan qutbaniyah dan Fardaniyah. Rasululloh SAW mengabulkan permintaan tersebut dan menjaminnya. Sebagaimana yang disampaikan Abul Mawahib Al-Arabi bin Sa-ih. Kedudukan Fardaniyah merupakan kedudukan para shadiqin dan kenabian (di luar risalah) dan lainnya. Dalam arti dalam dirinya terkumpul segala hal yang telah dikhususkan untuk mereka. Bersamaan dengan itu melebihi mereka dari sisi lainnya. Yaitu dari sisi jami’nya.

DETAIL RAGAM WALIYULLAH DIMUKA BUMI


Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Sering kali kita mendengar tentang keaneka ragaman wali Allah. mungkin dengan tulisan ini kita sedikit dapat mendapatkan informasi tentang Ragam Wali Allah SWT



Para Syekh Sufi membagi macam para Wali dengan berbagai versi, termasuk derajat masing-masing di hadapan Allah Ta’ala. Dalam kitab Al-Mafakhirul Aliyah fi al-Ma’atsir asy-Syadzilyah disebutkan ketika membahas soal Wali Quthub. Syekh Syamsuddin bin Katilah Rahimahullaahu Ta’ala menceritakan: “Saya sedang duduk di hadapan guruku, lalu terlintas untuk menanyakan tentang Wali Quthub. “Apa makna Quthub itu wahai tuanku?” Lalu beliau menjawab, “Quthub itu banyak. Setiap muqaddam atau pemuka sufi bisa disebut sebagai Quthub-nya.
Sedangkan al-Quthubul Ghauts al-Fard al-Jami’ itu hanya satu. Artinya bahwa Wali Nuqaba’ itu jumlahnya 300. Mereka itu telah lepas dari rekadaya nafsu, dan mereka memiliki 10 amaliyah: empat amaliyah bersifat lahiriyah, dan enam amaliyah bersifat bathiniyah. Empat amaliyah lahiriyah itu antara lain:
1) Ibadah yang banyak,
2) Melakukan zuhud hakiki,
3) Menekan hasrat diri,
4) Mujahadah dengan maksimal.

Sedangkan prilaku batinnya:
1) Taubat,
2) Inabat,
3) Muhasabah,
4) Tafakkur,
5) Merakit dalam Allah,
6) Riyadlah. Di antara 300 Wali ini ada imam dan pemukanya, dan ia disebut sebagai Quthub-nya.
Sedangkan Wali Nujaba’ jumlahnya 40 Wali. Ada yang mengatakan 70 Wali. Tugas mereka adalah memikul beban-beban kesulitan manusia. Karena itu yang diperjuangkan adalah hak orang lain (bukan dirinya sendiri). Mereka memiliki delapan amaliyah: empat bersifat batiniyah, dan empat lagi bersifat lahiriyah: Yang bersifat lahiriyah adalah 1) Futuwwah (peduli sepenuhnya pada hak orang lain), 2) Tawadlu’, 3) Menjaga Adab (dengan Allah dan sesama) dan 4) Ibadah secara maksimal. Sedangkan secara Batiniyah, 1) Sabar, 2) Ridla, 3) Syukur), 4) Malu.

Adapun Wali Abdal berjumlah 7 orang. Mereka disebut sebagai kalangan paripurna, istiqamah dan memelihara keseimbangan kehambaan. Mereka telah lepas dari imajinasi dan khayalan, dan mereka memiliki delapan amaliyah lahir dan batin. Yang bersifat lahiriyah:
1) Diam,
2) Terjaga dari tidur,
3) Lapar dan
4) ‘Uzlah.
Dari masing-masing empat amaliyah lahiriyah ini juga terbagi menjadi empat pula:
Lahiriyah dan sekaligus Batiniyah:

Pertama, diam, secara lahiriyah diam dari bicara, kecuali hanya berdzikir kepada Allah Ta’ala. Sedangkan Batinnya, adalah diam batinnya dari seluruh rincian keragaman dan berita-berita batin. Kedua, terjaga dari tidur secara lahiriyah, batinnya terjaga dari kealpaan dari dzikrullah. Ketiga, lapar, terbagi dua. Laparnya kalangan Abrar, karena kesempurnaan penempuhan menuju Allah, dan laparnya kalangan Muqarrabun karena penuh dengan hidangan anugerah sukacita Ilahiyah (uns). Keempat, ‘uzlah, secara lahiriyah tidak berada di tengah keramaian, secara batiniyah meninggalkan rasa suka cita bersama banyak orang, karena suka cita hanya bersama Allah.
Amaliyah Batiniyah kalangan Abdal, juga ada empat prinsipal:
1) Tajrid (hanya semata bersama Allah),
2) Tafrid (yang ada hanya Allah),
3) Al-Jam’u (berada dalam Kesatuan Allah,
4) Tauhid.

Ragam lain dari para Wali ada yang disebut dengan Dua Imam (Imamani), yaitu dua pribadi, salah satu ada di sisi kanan Quthub dan sisi lain ada di sisi kirinya. Yang ada di sisi kanan senantiasa memandang alam Malakut (alam batin) -- dan derajatnya lebih luhur ketimbang kawannya yang di sisi kiri --, sedangkan yang di sisi kiri senantiasa memandang ke alam jagad semesta (malak). Sosok di kanan Quthub adalah Badal dari Quthub. Namun masing-masing memiliki empat amaliyah Batin, dan empat amaliyah Lahir. Yang bersifat Lahiriyah adalah: Zuhud, Wara’, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Sedangkan yang bersifat Batiniyah: Kejujuran hati, Ikhlas, Mememlihara Malu dan Muraqabah.
Wali lain disebut dengan al-Ghauts, yaitu seorang tokoh agung dan tuan mulia, di mana seluruh ummat manusia sangat membutuhkan pertolongannya, terutama untuk menjelaskan rahasia hakikat-hakikat Ilahiyah. Mereka juga memohon doa kepada al-Ghauts, sebab al-Ghauts sangat diijabahi doanya. Jika ia bersumpah langsung terjadi sumpahnya, seperti Uwais al-Qarni di zaman Rasul SAW. Dan seorang Qutub tidak bisa disebut Quthub manakala tidak memiliki sifat dan predikat integral dari para Wali.
Al-Umana’, juga ragam Wali adalah kalangan Malamatiyah, yaitu mereka yang menyembunyikan dunia batinnya, dan tidak tampak sama sekali di dunia lahiriyahnya. Biasanya kaum Umana’ memiliki pengikut Ahlul Futuwwah, yaitu mereka yang sangat peduli pada kemanusiaan.

Al-Afraad, yaitu Wali yang sangat spesial, di luar pandangan dunia Quthub.

Para Quthub senantiasa bicara dengan Akal Akbar, dengan Ruh Cahaya-cahaya (Ruhul Anwar), dengan Pena yang luhur (Al-Qalamul A’la), dengan Kesucian yang sangat indah (Al-Qudsul Al-Abha), dengan Asma yang Agung (Ismul A’dzam), dengan Kibritul Ahmar (ibarat Berlian Merah), dengan Yaqut yang mememancarkan cahaya ruhani, dengan Asma’-asma, huruf-huruf dan lingkaran-lingkaran Asma huruf. Dia bicara dengan cahaya matahati di atas rahasia terdalam di lubuk rahasianya. Ia seorang yang alim dengan pengetahuan lahiriah dan batiniyah dengan kedalaman makna yang dahsyat, baik dalam tafsir, hadits, fiqih, ushul, bahasa, hikmah dan etika. Sebuah ilustrasi yang digambarkan pada Sulthanul Aulioya Syeikhul Quthub Abul Hasan Asy-Syadzily – semoga Allah senantiasa meridhoi .

Bila mengacu pada al-Qur’an (Yunus, ayat 62-64), kriteria kewalian itu adalah iman dan taqwa. Dengan sudah terpenuhinya dua kriteria tersebut, berarti seseorang berhak menyandang predikat wali. Apakah
sesederhana itu? Menurut Dr. Asep Usman Ismail, kriteria kewalian dengan kadar keimanan dan ketaqwaan yang baru standar, barulah memenuhi konsep kewalian secara umum. Untuk tidak mengaburkan istilah wali yang demikian kudus, tentunya kita tidak bisa berpatokan pada pemahaman harpiyah dari ayat di atas. Kalau berbicara tentang kadar keimanan saja, sebagaimana dipaparkan dosen UIN Jakarta ini, standar kewalian itu haruslah mengenal Allah melalui penyaksian mata batinnya. Dan pada level ini pun masih bertingkat-tingkat kualitasnya.

Bagaimana pandangan Anda mengenai konsep kewalian?
Kalau kita kembalikan pada pengertian dasarnya, istilah wali itu kan maknanya bisa dekat, bisa juga kekasih, bisa berarti bimbingan, atau juga pemeliharaan. Jadi pengertian wali itu adalah orang yang dekat dengan Allah; karena kedekatannya itu pula maka ia layak menjadi kekasih Allah; karena telah dekat dan sekaligus menjadi kekasih-Nya, maka ia pun layak mendapat bimbingan dan juga pemeliharaan dari Allah. Karena itu konsep kewalian itu bisa dijelaskan dari sudut relasi, yaitu relasi antara seorang hamba dengan Tuhannya.

Apakah dari sudut relasi itu juga dapat menjelaskan adanya tingkatan-tingkatan diantara para wali Allah itu?
Ya, kalau berbicara tentang relasi, kondisi dan intensitas setiap manusia itu kan berbeda-beda. Ada yang baru mendekat, ada yang sudah relatif dekat, ada yang sudah dekat sekali, bahkan ada yang sudah menyatu. Karena kondisinya berbeda-beda, maka kualitas kewaliannya pun menjadi berbeda pula. Itulah sebabnya mengapa ada tingkatan-tingkatan wali.

Dengan adanya tingkatan-tingkatan tadi, apa saja kriterianya sehingga seseorang layak dikategorikan sebagai wali pada tingkatannya yang paling dasar misalnya?
Dalam al-Qur’an Surah Yunus ayat 62 sampai 64 itu disebutkan, persyaratan untuk menjadi wali itu hanya dua saja. Satu beriman, dua bertaqwa. Dari ayat inilah kemudian para ulama menyimpulkan tentang konsep walaayatul-aammah atau kewalian secara umum, ada juga yang mengistilahkannya dengan walaayatut-tauhiid.

Sejauh mana kadar iman dan taqwa harus dimiliki sehingga seseorang berhak menyandang derajat kewalian dalam konteks walaayatul-‘amah ini?
Kalau menurut Ibnu Taimiyah, kewalian secara umum itu baru konsisten atau istiqamah dalam menjalankan segala yang diperintahkan serta menjauhi segala yang dilarang Allah. Tapi belum sepenuhnya mengerjakan yang disunatkan, belum meninggalkan yang dimakruhkan. Dan untuk kategori ini seseorang belum berhak menyandang derajat kewalian dalam pengertiannya yang khusus.

Jika demikian, bila konsep kewalian secara umum ini ditonjolkan, mungkin akan berdampak pada pendangkalan makna. Lebih-lebih istilah wali ini sudah sering dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal konsep kewalian dalam Islam itu kan begitu kudus. Jadi, apa sebenarnya makna kewalian secara khusus?
Pandangan tentang konsep kewalian secara khusus itu cukup beragam. Misalnya ada yang mengklasifikasikannya menjadi 8 tingkatan, yang masing-masing tingkatan itu menunjukkan kualitas yang berbeda. Tapi ada juga yang membaginya menjadi lima tingkatan saja, misalnya Hakim at-Tirmidzi.
Lalu, siapa saja yang sudah tergolong wali dalam pengertian yang khusus ini?
Sulit juga kalau berbicara tentang person. Kita paling bisa berbicara tentang konsep. Secara konseptual, ada yang disebut walayah haqqullah. Istilah haq yang disandarkan kepada Allah itu mengandung beberapa pengertian. Dalam istilah Haq Allah itu tercermin pengertian pesan, ajaran dan perintah Allah. Karenanya haqullah bisa diartikan dengan syari’at Allah. Jadi auliya pada tingkatan ini adalah mereka yang sudah mampu menjalankan syari’at Allah secara kaaffah, yaitu secara komprehensif dan istiqamah. Jadi tidak ada konsep kewalian yang justru mengabaikan aspek syari’ah. Kecuali itu, istilah haqullah juga mengacu pada realitas wujud yang tertinggi. Jadi kewalian dalam tingkatan ini adalah mereka yang sudah mampu berintegrasi dengan realitas yang tertinggi, yaitu Allah. Pengertian berintegrasi ini tentunya harus mengacu pada apa yang dikonsepsikan oleh para sufi itu sendiri. Ada yang mengkonsepsikannya dengan ma’rifah, ada yang menyebutnya dengan ittihad, hulul dan lainnya.

Tingkatan berikutnya?
Ada lagi yang disebut waliyullah, tidak digandengkan dengan istilah haq lagi. Tingkatan ini untuk menggambarkan bahwa sang wali itu, bukan berarti tidak lagi berpegang pada syari’at. Tetapi perhatian dan orientasinya sudah pada substansi, bukan lagi berkutat pada aspek formal dari syari’at. Jadi dia sudah sampai pada tingkat merasakan inti atau substansi dari syari’at. Dalam konteks ini, Imam Asy-Syathibi mengistilahkannya dengan hikmah syari’ah. Orang pada level ini adalah mereka yang sudah mencapai Ghaayatush-shidqi fil-‘ ibadah, puncak kesungguhan dalam beribadah. Dia sudah mencapai tarap optimal dalam kualitas ibadahnya. Ia sudah jauh melampaui batas minimal.


Apa perbedaan yang spesifik di antara kedua tingkatan tadi?
Kalau walaayah haqqullah disebut kaum shaadiquun. Sedangkan waliyullah disebutnya sebagai shiddiiquun. Kalau mengacu pada pendapat Ibnu Taimiah sebagaimana tadi sudah kita singgung, kewalian secara umum itu baru konsisten menjalankan segala yang diperintahkan serta menjauhi segala larangan Allah. Belum sepenuhnya mengerjakan yang disunatkan, belum meninggalkan yang dimakruhkan. Nah, kalau kelompok shaadiquun itu, secara lahiriyah, mereka sudah istiqamah menjalankan yang disunatkan serta meninggalkan yang dimakruhkan. Adapun secara batiniyah, batinnya itu sudah terhubungkan dengan Allah. Dengan kata lain, kelompok shiddiiquun adalah mereka yang sudah mencapai esensi dari syari’ah. Artinya sudah sampai pada penyerahan diri secara total kepada Allah. Dia tidak menganggap bahwa dirinya punya kemampuan. Bahkan kesadaran eksistensialnya sudah sirna, sudah fana. Batinnya sudah mu’allqun billah, sudah terpaut erat dengan Allah. Sebaliknya, orang yang jauh dari Allah itu kan umumnya karena mereka menganggap dirinya punya kemampuan, menganggap dirinya punya eksistensi yang mandiri di luar Tuhannya.

Lalu tingkatan berikutnya?
Tingkatan berikutnya, ada yang disebut al-muniibuun, yaitu orang-orang yang sudah senantiasa mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah. Dia sudah berhasil menekan egonya, sudah dapat menekan kepentingan-kepentingan pribadinya, persepsinya tentang hal-hal duniawi sudah jernih. Orang seperti ini sudah mendekati karakter malaikat. Ada lagi yang disebut al-muqarrabuun, yaitu orang yang sudah benar-benar dekat dengan Allah. Kalau kita, misalnya kita ini betul memahami bahwa Allah itu dekat. Tetapi kita baru sampai pada taraf kognitif, tarap pemahaman. Betul saya tidak pernah mengubah pendirian saya bahwa Allah itu dekat. Saya yakin betul. Tetapi kita belum merasakan kedekatannya. Nah wali al-Muqarrabuun ini selalu dapat merasakan kedekatannya kepada Allah, dalam seluruh waktunya dan dalam sepanjang hidupnya.

Ada lagi tingkatan yang lebih tinggi dari yang tadi Anda sebutkan?
Yang lebih tinggi lagi adalah tingkatan al-munfariduun. Pada level ini berarti sang wali sudah mencapai tarap menyendiri bersama Tuhannya. Untuk dapat memahami tingkatan ini mungkin kita perlu analogi. Misalnya ada yang hendak bertamu kepada seseorang yang sudah dikenalnya. Kalau yang masih tergolong ‘am, kedekatannya itu kan baru pada taraf minimal. Saya kenal seseorang, saya tahu siapa namanya, saya tahu apa pekerjaannya, saya tahu bagaimana karakternya, saya tahu di mana rumahnya. Baru sebatas ini. Kalau pada level berikutnya, misalnya, o ya saya sudah sampai ke pekarangan rumahnya, bahkan saya sudah dipersilahkan masuk. Tapi kalau pada tingkat al-muqarrabuun, o saya bukan saja sudah dipersilahkan masuk, tapi saya sudah diajak ke ruang tengah. Saya sudah diajak berbicara. Hanya saja saya belum bertemu langsung dengannya. Sebab dia masih berada dibalik hijab. Nah, kalau tingkatan al-munfariduun, pemilik rumah sudah menampakkan diri. Bukan sekedar dekat bersamanya, tapi sudah berduaan dengannya.

Lalu apa puncak dari tingkatan kewalian itu?
Puncak dari tingkatan kewalian itu adalah khatmul walaayah. Ini juga yang disebut kutubul-auliya, poros tertinggi dari kewalian. Kalau pada tingkatan ini bukan sekedar berduaan. Kalau berduaan kan masih bisa dibedakan antara dirinya dengan Tuhannya. Jadi masih ada pemisah, aku dan Dia, atau aku dan Engkau. Sementara pada tingkatan ini antara hamba dan Tuhan itu sudah benar-benar menyatu, tidak ada lagi pemisah.
Siapa saja yang berada pada puncak kewalian ini?
Kalau berbicara tentang person, lagi-lagi tidak ada kata sepakat. Tapi umumnya ulama berpandangan bahwa pada setiap zaman itu ada wali kutubnya. Pengertian zaman di sini kurang lebih satu abad lamanya. Pada masanya Syekh Abdul Qadir Jaelani, beliau ini dipandang sebagai kutubul-auliya. Ada yang meniilai bahwa pada zaman itu juga sebenarnya ada sufi yang lain. Jadi kalau sudah berbicara pada person, bisa berbeda-beda. Ada yang berpandangan bahwa pada masa Ibnu Arabi, beliaulah wali kutubnya. Pada masa Abu Hasan As-Sazili, beliaulah wali kutubnya. Jadi kalau berbicara tentang konsep umumnya bisa sepakat. Tapi siapa yang memenuhi kriteria-kriteria pada setiap tingkatannya itu, nah itu yang tidak sepakat.

Derajat kewalian itu kan pada hakikatnya merupakan kualitas hubungan personal antara hamba dengan Tuhannya. Lantas, mengapa kemudian ada identifikasi bahwa si A itu adalah wali. Bagaimana kita dapat mengetahuinya?
Ya, betul, derajat kewalian itu menyangkut essensi keberagamaan yang bersifat pribadi dan berdimensi batini. Karena itu ada kelompok ulama yang berpandangan bahwa la ya’lamul-waliyya illal-waliyyu. Artinya, tidak ada yang dapat mengetahui bahwa seseorang itu wali, kecuali seorang wali juga.