Sementara yang disepakati kalangan Sufi, ada 6 lapisan para Auliya’,
yaitu para Wali : Ummahat, Aqthab; A’immah; Autad; Abdal; Nuqaba’; dan Nujaba’.
Pada pertanyaan lain : Siapa yang berhak menyandang Khatamul Auliya’ sebagaimana gelar yang disandang Khatamun Nubuwwah oleh Nabi Muhammad SAW.? Ibnu Araby menjawab:
Al-Khatam itu ada dua: Allah menutup Kewalian (mutlak), dan Allah menutup Kewalian Muhammadiyah. Penutup Kewalian mutlak adalah Isa Alaihissalaam. Dia adalah Wali dengan Nubuwwah Mutlak, yang kelak turun di era ummat ini, dimana turunnya di akhir zaman, sebagai pewaris dan penutup, dimana tidak ada Wali dengan Nubuwwah Mutlak setelah itu. Ia disela oleh Nubuwwah Syari’at dan Nubuwwah Risalah. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW sebagai Penutup Kenabian, dimana tidak ada lagi Kenabian Syariat setelah itu, walau pun setelah itu masih turun seperti Isa, sebagai salah satu dari Ulul ‘Azmi dari para Rasul dan Nabi mulia. Maka turunnya Isa sebagai Wali dengan Nubuwwah mutlaknya, tertapi aturannya mengikuti aturan Nabi Muhammad SAW, bergabung dengan para Wali dari ummat Muhammad lainnya. Ia termasuk golongan kita dan pemuka kita.
Pada mulanya, ada Nabi, yaitu Adam, AS.Dan akhirnya juga ada Nabi, yaitu
Isa, sebagai Nabi Ikhtishah (kekhususan), sehingga Isa kekal di hari mahsyar
ikut terhampar dalam dua hamparan mahsyar. Satu Mahsyar bersama kita, dan satu
mahsyar bersama para Rasul dan para Nabi.
Adapun Penutup Kewalian Muhammadiyah, saat ini (era Ibnu Araby) ada pada seorang dari bangsa Arab yang memiliki kemuliaan sejati. Saya kenal ditahun 595 H. Saya melihat tanda rahasia yang diperlihatkan oleh Allah Ta’ala pada saya dari kenyataan ubudiyahnya, dan saya lihat itu di kota Fes, sehingga saya melihatnya sebagai Khatamul Wilayah darinya. Dia adalah Khatamun Nubuwwah Mutlak, yang tidak diketahui banyak orang. Dan Allah telah mengujinya dengan keingkaran berbagai kalangan padanya, mengenai hakikat Allah dalam sirrnya.
Sebagaimana Allah menutup Nubuwwah Syariat dengan Nabi Muhammad SAW, begitu juga Allah menutup Kewalian Muhammady, yang berhasil mewarisi Al-Muhammadiyah, bukan diwarisi dari para Nabi. Sebab para Wali itu ada yang mewarisi Ibrahim, Musa, dan Isa, maka mereka itu masih kita dapatkan setelah munculnya Khatamul Auliya'’Muhammady , dan setelah itu tidak ada lagi Wali pada Kalbu Muhammad SAW. Inilah arti dari Khatamul Wilayah al-Muhammadiyah. Sedangkan Khatamul Wilayah Umum, dimana tidak ada lagi Wali setelah itu, ada pada Isa Alaissalam. Dan kami menemukan sejumlah kalangan sebagai Wali pada Kalbu Isa As, dan sejumlah Wali yang berada dalam Kalbu para Rasul lainnya.
Wallahu A’lam bish-Shawab.
Ada cahaya yang memendar nun jauh
di sana. Tak habis-habisnya mata memandang penuh pesona. Indah dan menakjubkan,
hingga tiada sesaat pun melainkan sebuah klimaks dari puncak rasa kita,
terkadang seperti puncak gelombang Cinta, terkadang menghempas seperti
sauh-sauh kesadaran di hempas pantai, terkadang begitu jauh di luar batas
harapan, padahal ia lebih dekat dari sanubari kita sendiri.
Tiba-tiba cahaya itu ada di depan
mata hati kita. Ternyata sebuah gerbang keagungan yang dahsyat penuh kharisma.
Gerbang itu seakan bicara: “Akulah gerbang para kekasih Tuhan”. Sejengkal saja
kaki kita melangkah, memasuki pintu gerbang itu, seluruh kesadaran kita sirna
dalam luapan gelombang cinta yang digerakkan oleh kedahsyatan angin kerinduan.
Kata pertama yang berbunyi di sana adalah deretan puja dan puji:
“Segala puji bagi Allah yang
telah meluapi lembah kalbu para wali-Nya dengan luapan Cinta kepada-Nya. Dia yang
membangunkan istana khusus agar luapan arwah para kekasih-Nya itu, senantiasa
menyaksikan keagungan-Nya. Dia pula yang menghamparkan padang ma’rifatullah
melalui rahasia-rahasia jiwanya. Lalu kalbunya berada di sebuah taman surga.
Taman itu penuh dengan lukisan-lukisan ma’rifatullah yang tiada tara. Sedangkan
arwah-arwah mereka berada di Taman Malakut, tak sejenak pun arwah itu melainkan
berada dalam keabadian penyucian pada-Nya. Duh, rahasia arwahnya, mendendangkan
tasbih dalam tarian Lautan Jabarut-Nya.”
Lalu sebuah gerbang yang begitu agung dan indahnya, mengukirkan prasasti yang ditulis oleh Qalam Ruhani. “Segala Puja bagi Allah, yang telah membuka gerbang Cinta-Nya bagi para Kekasih-Nya. Lalu Dia mengurai rantai yang membelenggu jiwanya, sehingga mereka teguh dalam keharusan khidmah pada-Nya, sedangkan cahaya-cahaya-Nya melimpahi akal-akal mereka. Lalu tampak jelas, keajaiban-keajaiban kekuasaan-Nya, sedangkan kalbu-kalbu mereka terjaga dari haru biru tipudaya yang menumpah pada pesona-pesona cetak lahiriyah jagad semesta, sampai akhirnya menggapai ma’rifat paripurna. Amboi, ruh-ruh mereka tersingkapkan dari kemahasucian paripurna-Nya, dan sifat-sifat keagungan-Nya. Merekalah penempuh jalan hadirat-Nya, dalam kenikmatan rahasia kedekatan dengan-Nya, melalui tarekat dahsyat rindu dendam-Nya, hingga mereka termanifestasi dalam hakikat, melalui penyaksian Ketunggalan-Nya. Mereka telah diraih dari mereka, dan Dia menyirnakan mereka dari mereka, lalu mereka ditenggelamkan dalam lautan Kemaha-Dia-an-Nya. Dia memisahkan pasukan-pasukan terpencar dalam kesatuan kitab-Nya bagi para kekasih terpilih-Nya. Lalu mereka terjaga oleh kerahasiaan jiwa melalui limpahan cahaya-cahaya, agar ia menjadi obyek manifestasi, di samping ke-Tunggal-Dirian-Nya.”
Lalu sebuah gerbang yang begitu agung dan indahnya, mengukirkan prasasti yang ditulis oleh Qalam Ruhani. “Segala Puja bagi Allah, yang telah membuka gerbang Cinta-Nya bagi para Kekasih-Nya. Lalu Dia mengurai rantai yang membelenggu jiwanya, sehingga mereka teguh dalam keharusan khidmah pada-Nya, sedangkan cahaya-cahaya-Nya melimpahi akal-akal mereka. Lalu tampak jelas, keajaiban-keajaiban kekuasaan-Nya, sedangkan kalbu-kalbu mereka terjaga dari haru biru tipudaya yang menumpah pada pesona-pesona cetak lahiriyah jagad semesta, sampai akhirnya menggapai ma’rifat paripurna. Amboi, ruh-ruh mereka tersingkapkan dari kemahasucian paripurna-Nya, dan sifat-sifat keagungan-Nya. Merekalah penempuh jalan hadirat-Nya, dalam kenikmatan rahasia kedekatan dengan-Nya, melalui tarekat dahsyat rindu dendam-Nya, hingga mereka termanifestasi dalam hakikat, melalui penyaksian Ketunggalan-Nya. Mereka telah diraih dari mereka, dan Dia menyirnakan mereka dari mereka, lalu mereka ditenggelamkan dalam lautan Kemaha-Dia-an-Nya. Dia memisahkan pasukan-pasukan terpencar dalam kesatuan kitab-Nya bagi para kekasih terpilih-Nya. Lalu mereka terjaga oleh kerahasiaan jiwa melalui limpahan cahaya-cahaya, agar ia menjadi obyek manifestasi, di samping ke-Tunggal-Dirian-Nya.”
Kalau saja kita ingin mengenal
gerbang-gerbang Kekasih Allah itu, semata bukanlah hasrat dan ambisi untuk
menjadi Kekasih-Nya. Sebab, mengangkat derajat seseorang menjadi Kekasih-Nya
adalah Hak Allah, dan Allah sendiri yang memberi Wilayah itu kepada hamba-Nya
yang dikehendaki-Nya.
Sekadar berkah atas cahaya kewalian dari kekasih-kekasih-Nya itu, sesungguhnya lebih dari cukup bagi kita. Sedangkan pengetahuan kita atas dunia kewalian yang menjadi bagian dari misteri-misteri Ilahi, tidak lebih dari limpahan-limpahan Ilahi, agar kita lebih yakin kepada-Nya atas keimanan kita selama ini.
Sekadar berkah atas cahaya kewalian dari kekasih-kekasih-Nya itu, sesungguhnya lebih dari cukup bagi kita. Sedangkan pengetahuan kita atas dunia kewalian yang menjadi bagian dari misteri-misteri Ilahi, tidak lebih dari limpahan-limpahan Ilahi, agar kita lebih yakin kepada-Nya atas keimanan kita selama ini.
Para Auliya Allah adalah
Ahlullah. Mereka terpencar di muka bumi sebagai “tanda-tanda” Ilahiyah, dengan
jumlah tertentu, dan tugas-tugas tertentu. Di antara mereka ada yang
ditampakkan karamahnya, ada pula yang tidak ditampakkan sama sekali. Oleh
karena itu hamba-hamba Allah yang diberi kehebatan luar biasa, tidak sama
sekali disebut Waliyullah, dan belum tentu juga yang tidak memiliki kelebihan
sama sekali, tidak mendapat derajat Wali Allah. Para Auliya adalah mereka yang
senantiasa mencurahkan jiwanya untuk Ubudiyah kepada Allah, dan menjauhkan
jiwanya dari kemaksiatan kepada Allah.
Di masyarakat kita, seringkali
terjebak oleh fenomena-fenomena metafisikal yang begitu dahsyat yang muncul
dari seseorang. Lalu masyarakat kita mengklaim bahwa orang tersebut tergolong
Waliyullah. Padahal kata seorang syekh sufi, “Jika kalian melihat seseorang
bisa terbang, bisa menembus batas geografis dengan cepat, bahkan bisa menembus
waktu yang berlalu dan yang akan datang, janganlah Anda anggap itu seorang Wali
Allah sepanjang ia tidak mengikuti Sunnah Rasulullah SAW.“
Mengapa? Sebab ada ilmu-ilmu
hikmah tertentu yang bisa dipelajari, agar seseorang memiliki kehebatan
tertentu di luar batas ruang dan waktu, dan ironisnya ilmu demikian disebut
sebagai Ilmu Karamah. Padahal karamah itu, adalah limpahan anugerah Ilahi,
bukan karena usaha-usaha tertentu dari hamba Allah.
Karamah sendiri bukanlah syarat
dari kewalian. Kalau saja muncul karamah pada diri seorang wali, semata
hanyalah sebagai petunjuk atas kebenaran ibadahnya, kedudukan luhurnya, namun
dengan syarat tetap berpijak pada perintah Nabi SAW. Jika tidak demikian, maka
karamah hanyalah kehinaan syetan. Karena itu di antara orang-orang yang saleh
ada yang mengetahui derajat kewaliannya, dan orang lain tahu. Ada pula yang
tidak mengetahui derajat kewaliannya sendiri, dan orang lain pun tidak tahu.
Bahkan ada orang lain yang tahu, tetapi dirinya sendiri tidak tahu.
Tetapi di belahan ummat Islam
lain juga ada yang menolak konsep kewalian. Bahkan dengan mudah mengklaim yang
disebut Auliya’ itu seakan-akan hanya derajat biasa dari derajat keimanan
seseorang. Tentu saja, kelompok ini sama kelirunya dengan kelompok mereka yang
menganggap seseorang, asal memiliki kehebatan, lalu disebut sebagai Waliyullah,
apalagi jika orang itu dari kalangan kiai atau ulama.
Meluruskan pandangan Kewalian di
khalayak ummat kita, memang sesuatu yang rumit. Ada ganjalan-ganjalan
primordial dan psikologis, bahkan juga ganjalan intelektual.
Al-Quthub Abul Abbas al-Mursi,
semoga Allah meridlainya, menegaskan dalam kitab yang ditulis oleh muridnya,
Lathaiful Minan, karya Ibnu Athaillah as-Sakandari, “Waliyullah itu diliputi
oleh ilmu dan ma’rifat-ma’rifat, sedangkan wilayah hakikat senantiasa disaksikan
oleh mata hatinya, sehingga ketika ia memberikan nasehat seakan-akan apa yang
dikatakan seperti identik dengan izin Allah. Dan harus dipahami, bagi siapa
yang diizinkan Allah untuk meraih ibarat yang diucapkan, pasti akan memberikan
kebaikan kepada semua makhluk, sementara isyarat-isyaratnya menjadi riasan
indah bagi jiwa-jiwa makhluk itu.”
“Dasar utama perkara Wali itu,”
kata Abul Abbas, “adalah merasa cukup bersama Allah, menerima Ilmu-Nya, dan
mendapatkan pertolongan melalui musyahadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia-lah yang mencukupinya.” (QS.
ath-Thalaq: 3). “Bukankah Allah telah mencukupi hambanya?” (QS. Az-Zumar: 36).
“Bukankah ia tahu, bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Tahu?” (QS. al-‘Alaq :14).
“Apakah kamu tidak cukup dengan Tuhanmu, bahwa sesungguhnya Dia itu Menyaksikan
segala sesuatu?” (QS. Fushshilat: 53).
Syekh Agung Abdul Halim Mahmud
dalam memberikan catatan khusus mengenai Lathaiful Minan karya as-Sakandari
mengupas panjang lebar mengenai Kewalian ini. Hal demikian dilakukan karena,
as-Sakandari menulis kitab itu memulai tentang wacana Kewalian, karena memang,
buku besar itu ingin mengupas tuntas tentang biografi dua Waliyullah terbesar
sepanjang zaman, yaitu Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzili ra dan
muridnya, Syekh Abul Abbas al-Mursi.
Dalam sebuah ayat yang seringkali
menjadi rujukan utama dunia Kewalian adalah: “Ingatlah bahwa sesungguhnya para
Wali-wali Allah itu tidak punya rasa takut dan rasa gelisah. Yaitu orang-orang
yang beriman dan mereka bertaqwa. Mereka mendapatkan kegembiraan dalam
kehidupan dunia dan dalam kehidupan akhirat. Tidak ada perubahan bagi
Kalimat-kalimat Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS.
Yunus: 62-64)
Dalam salah satu hadits Qudsi yang sangat populer disebutkan, “Rasulullah SAW bersabda: Allah Ta’ala berfirman: “Siapa yang memusuhi Wali-Ku, maka benar-benar Aku izinkan orang itu untuk diperangi. Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku cintai dibanding apa yang Aku wajibkan padanya. Dan hamba-Ku itu senantiasa mendekatkan pada-Ku dengan ibadah-ibadah Sunnah sehingga Aku mencintai-Nya. Maka bila Aku mencintainya, Akulah pendengarannya di mana ia mendengar, dan menjadi matanya di mana ia melihat, dan menjadi tangannya di mana ia memukul, dan menjadi kakinya di mana ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, Akupasti memberinya, jika ia memohon perlindungan kepadaKu Aku pasti melindunginya.”
Karenanya al-Hakim at-Tirmidzi, salah satu sufi
besar generasi abad pertengahan, menulis kitab yang sangat monumental hingga
saat ini, Khatamul Auliya’ (Tanda-tanda Kewalian), yang di antaranya berisi 156
pertanyaan mengenai dunia sufi, dan siapa yang bisa menjawabnya, maka ia akan
mendapatkan Tanda-tanda Kewalian itu. Beliau juga menulis kitab ‘Ilmul Auliya.Dalam salah satu hadits Qudsi yang sangat populer disebutkan, “Rasulullah SAW bersabda: Allah Ta’ala berfirman: “Siapa yang memusuhi Wali-Ku, maka benar-benar Aku izinkan orang itu untuk diperangi. Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku cintai dibanding apa yang Aku wajibkan padanya. Dan hamba-Ku itu senantiasa mendekatkan pada-Ku dengan ibadah-ibadah Sunnah sehingga Aku mencintai-Nya. Maka bila Aku mencintainya, Akulah pendengarannya di mana ia mendengar, dan menjadi matanya di mana ia melihat, dan menjadi tangannya di mana ia memukul, dan menjadi kakinya di mana ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, Akupasti memberinya, jika ia memohon perlindungan kepadaKu Aku pasti melindunginya.”