Syekh Maulana Abu Ali Ahsan al Ba’qili bin
Muhammad bin Muhammad bin Umar bin Mas’ud bin Ibrahim bin Abdullah bin
Ali dilahirkan pada awal abad ke-13 H di Desa Ikidhi-Maroko. Nasabnya
berujung kepada sayyidina Hasan as Sibthi bin sayyidina Ali dan sayyidah
Fatima az Zahra binti Rasulillah SAW.<>
Sedangkan Ba’qili merupakan nama suku yang berada di daerah selatan
Maroko. Di usianya yang masih kecil (8 tahun) ayahnya meninggal dunia,
mulai saat itulah saudara-saudaranya yang mencukupi keperluan beliau
sehari-hari. Pada usia 14 tahun telah hafal Al-Quran, yang kemudian
melanjutkan menimba ilmu kepada para ulama di berbagai daerah Negara
Matahari Terbenam tersebut, diantaranya di Qurawiyin-Fes, Medina Qasr
Kabir, Medina Settat dan lainnya.
Pada tahun 1321, beliau memulai mempelajari ilmu Tasawuf, mulanya di
bawah bimbingan Syekh Ali Masfayubi, dan kemudian berguru kepada Syekh
al Qutb Husen al Ifrani (W. 1328 H) penulis kitab “Tiryaqu al Qulub min Adawai al Ghaflah wa ad Dzunub”,
dari sinilah beliau memperoleh ijazah dan legalisasi sebagai Mursyid
tarekat Tijaniyah secara mutlak dengan silsilah sanad keemasan yaitu
Sidi Ahsan Ba’qili dari Syekh al Qutb Husen al Ifrani dari al Qutb Syekh
Arobi bin Sayih (W. 1309 H) dari Syekh Ali at Tamasini (W. 1260 H) dari
Sayyidina Maulana al Qutb Syekh Ahmad bin Muhammad at Tijani RA. dari
Rasulullah SAW.
Kisahnya bertemu dengan Rasulullah diabadikan dalam kitabnya as Syurbu as Shafi,
yang menceritakan bahwa kewaliannya berada di bawah telapak kaki
Baginda Nabi SAW dan akan memperoleh derajat yang tinggi sebagai seorang
Dai. Dituturkan pula oleh Syekh Muhammad bin Ahmad Alfa Hasyim al Futiy
bahwasannya pada musim haji ia bertemu dengan Sidi Ahsan Ba’qili,
seorang yang Alim, ahli Fiqih, ahli Hadits pada zamannya yang hafal 200
ribu hadits beserta sanadnya dan penulis produktif diberbagai disiplin
ilmu.
Akhirnya dia pun kagum dan terpukau dengan beberapa pertanyaan yang
dijawab Sidi Ahsan Ba’qili, diantaranya ialah Zawiyah itu seharusnya
diatas maupun di bawahnya tidak ada bangunan lagi untuk tempat tinggal.
Zawiyah adalah semacam musholla tempat mengamalkan tarekat. Demikianlah
cerita keponakannya Syekh Umar Al-Futiy penulis kitab “Rimah” atau Rimahu Hizbi ar Rahim ala Nuhuri Hizbi ar Rajim.
Sidi Ahsan Ba’qili juga andil besar dalam penyebaran ajaran tarekat
Tijaniyah, terbukti 1200 orang lebih yang telah beliau talqin. Disamping
itu pula turut andil melalui dakwah dan tulisannya tentang hukum,
keutamaan dan rahasia tarekat ini. Hasil buah tangannya mencapai puluhan
kitab, namun yang paling masyhur di kalangan Tijaniyah ialah Iraah dan Sauqu al Asrar ila Hadrati as Syahidi as Sattar.
Adapun penerus perjuangannya yang kesohor antara lain ialah Syekh
Ahmad bin Ali al Kasyti (W. 1374 H), putranya Sidi Muhammad Habib Abu
Aqil (W. 1995 M), putranya Sidi Muhammad Kabir Ba’qili, Syekh Abdur
Rahman Inezgane (W.1403 H), Syekh Muhammad Arobi bin Mahdi (yang
berkunjung ke Indonesia pada bulan September 2013 lalu) dan Cucunya
Ustadzah Zainab Abu Aqil yang eksistensi pola pikirnya bernafaskan al
Ba’qili dan lain-lain.
Pada tahun 1367 H, Beliau mulai terserang penyakit Hepatitis, yang
ujungnya Beliau menghembuskan nafas terakhir untuk menghadap kehadirat
Sang Khaliq pada malam jumat 10 Syawal 1368 H. Dahulu dimakamkan di
daerah Oulad Ziyan, namun -subhanallah- ketika dipindah ke pemakaman Ghufron - Casablanca mayatnya utuh walaupun sudah bertahun-tahun.
Demikianlah biografi sang Mursyid yang peranannya sebagai Khalifah
tarekat Tijaniyah. Semoga bermanfaat dan semoga para pembaca mendapat
barokah dari ilmu beliau.
Ahmad Shohibul Muttaqin, alumni Universitas Ibn
Tofail Kenitra – Maroko, mantan ketua PPI (Perhimpunan Pelajar
Indonesia) Maroko 2011/2012, serta penganut tarekat Tijaniyah.
SUMBER : http://www.nu.or.id/post/read/51984/ziarah-syekh-tarekat-tijaniyah-di-casablanca
Brebes, NU Online Muqoddam dan para guru
tarekat Tijaniyah dari pelbagai belahan dunia hadir pada Idul Khotmi lil
Qutbil Maktum Syeikh Ahmad At-Tijani sebagai peringatan ke-222 hari
pengangkatan Syekh Tijani sebagai wali khatm. Pada acara yang
berlangsung di pesantren Darussalam Jatibarang Kidul, Jatibarang,
Brebes, Ahad (14/12), mereka menyerukan penduduk dunia untuk menebar
kasih sayang sesame manusia dan juga kepada binatang. <> Tampak
hadir pada peringatan ini Syekh Sayid Tohar (Maroko), Syekh Muhammad
Al-Jakani (Maroko), Syekh Prof Umar Mas’ud (Sudan), Syekh Abdul Halim
(India), Syekh Hasan Ibnu Muhammad Al-Jakkani (Maroko), Assyayidah
(Hijaz), Assayyidah Ba Aziz Ehwan (London), Dr Mazlam Nawaei (Malaysia),
dan Pavontum Mannil (India).
Syekh Wa’lah dari Al-Jazair
mengajak para pengamal tarekat Tijaniyah agar selalu mengampanyekan
perdamaian di muka bumi ini. Pasalnya, perdamaian ini sangat dianjurkan
oleh Rasulullah.
“Nabi telah memerintahkan sahabat-sahabatnya
untuk menebarkan kedamaian, cinta, dan menasehati demi kebaikan
bersama,” tutur Wa’lah.
Ia menekankan penting persaudaraan.
Pantang berdengki dan bermusuhan. “Jauhi permusuhan karena kita menjadi
satu badan dalam satu Islam dan Tarekat Tijaniyah. Seperti penyebaran
Islam dengan kedamaian demikian juga Tarekat Tijaniyah,” tandasnya.
Senada
dengan itu, Prof Dr Rodi Genun dari Prancis menyatakan Tijaniyah selalu
menebarkan kasih sayang kepada sesama manusia tetapi juga kepada
binatang. Kasih sayang menunjukan pada ketinggian ahlak seperti ahlak
Nabi Muhammad SAW. “Ahlak Nabi bagai lautan tak bertepi, ahlak yang yang
mulia,” tambahnya.
Bupati Brebes Hj Idza Priyanti mengaku sangat
bangga dan gembira karena Brebes telah kedatangan para ulama besar dari
seluruh penjuru dunia. Kedatangan mereka diharapkan bisa menambah
keteguhan hati masyarakat Brebes dalam meningkatkan keimanan dan
ketakwaannya kepada Allah SWT.
Muqaddam Tijaniyah KH Syekh Soleh
Basalamah menjelaskan, peringatan yang diadakan setiap 18 Shafar ini,
merupakan puncak ijtima’ kaum Tijaniyah seluruh Indonesia. Dilaksanakan
bersifat nasional berdasar restu sesepuh muqaddam tingkat nasional.
Sementara tempatnya bergiliran di tempat-tempat yang ada di Indonesia.
“Bagi
Jatibarang, mendapatkan tiga kali giliran, 1984, 2008 dan 2014 ini,”
imbuh Syekh Sholeh yang juga Pengasuh Pesantren Darussalam Jatibarang
Kidul. (Wasdiun/Alhafiz K)
Salah satu kiai yang menjadi
pejuang pada masa revolusi ialah Kiai Abbas bin Abdul Jamil, Buntet
Cirebon. Kiai Abbas merupakan kiai kharismatik, yang dikenal karena
pengetahuan keislaman, keteduhan spiritual dan kekuatan ilmu kanuragan
yang menjadikan beliau sebagai rujukan dalam perang kemerdekaan. Kiai
Abbas, dikenal sebagai Angkatan Udara Nahdlatul Ulama, yang
menghancurkan beberapa pesawat tempur tentara NICA, dalam perang
kemerdekaan di Surabaya, November 1945. Uniknya, Kiai Abbas menggunakan
bakiak, tasbih dan butiran pasir sebagai senjata untuk merontokkan
pesawat tempur musuh. Bagaimana kisahnya?
Kiai
Abbas merupakan putra sulung dari Kiai Abdul Jamil, pengasuh pesantren
Buntet, Cirebon. Beliau lahir pada 24 Dzulhijjah 1300 H/1879 M, di
Cirebon, Jawa Barat. Pada masa kecilnya, Kiai Abbas belajar mengaji
dengan Kiai Nasuha Plered Cirebon dan Kiai Hasan, Jatisari. Setelah itu,
Abbas kecil berkelana untuk mengaji ke Tegal, di bawah asuhan Kiai
Ubaedah. Setelah itu, menuju Jombang, Jawa Timur untuk mengaji kepada
Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari.
Pada kisaran
tahun 1900an, Kiai Abbas datang untuk belajar ke pesantren Tebu Ireng,
Jombang. Beliau datang bersama saudaranya, yakni Kiai Sholeh Zamzam,
Kiai Abdullah Pengurangan, dan Kiai Syamsuri Wanatar. Pada waktu itu,
pesantren Tebu Ireng masih sering diganggu oleh musuh, yakni
berandal-berandal lokal di sekitar Pabrik Gula Cukir. Bersama
santri-santri lainnya, Kiai Abbas membantu Hadratus Syaikh Hasyim
Asy’ari melawan bandit lokal yang mengganggu pesantren. Akhirnya, para
berandal lokal dan bandit-bandit kecil kalah dalam adu ilmu kanuragan
(Masyamul Huda, 2014). PesantrenTebu Ireng menjadi aman, serta jadi
rujukan santri untuk mengaji.
Ketika belajar di
pesantren, bakat sebagai pemimpin, ahli ilmu, ahli strategi dan watak
periang sudah terlihat dalam diri Kiai Abbas. Beliau berkawan karib
dengan Kiai Wahab Chasbullah, putra Kiai Chasbullah Said, Tambakberas,
Jombang. Setelah melalang buana di pesantren Jawa, Kiai Abbas kemudian
menikah dan berangkat haji ke tanah suci. Di tanah Arab, Kiai Abbas
bertemu dengan banyak kawan asal Nusantara yang belajar di Hijaz. Ia
banyak diskusi dengan mereka, untuk memperdalam pengetahuan agama dan
wawasan global.
Kemudian, Kiai Abbas pulang
sebentar ke tanah air, dan kembali lagi ke tanah suci untuk belajar. Di
Makkah, Kiai Abbas menjadi santri Syekh Ahmad Zubaidi. Kiai Abbas juga
belajar kepada Syekh Mahfudh at-Termasi dan Syaikh Chatib
al-Minangkabawi. Di tanah suci, Kiai Abbas dengan tekun belajar, diskusi
dan menggelar pelbagai majlis ilmu bersama kawan-kawannya. Pada usia 40
tahun, Kiai Abbas mendapatkan tugas sebagai pengajar.
Mengembangkan Pesantren Buntet
Sekembali
ke tanah air, Kiai Abbas kemudian mengembangkan pesantren Buntet, yang
menjadi peninggalan ayahandanya. Di bawah asuhan Kiain Abbas, pesantren
Buntet menjadi ramai oleh santri dan terkenal sebagai salah satu rujukan
dalam mengaji serta memperdalam ilmu Islam. Bagi Kiai Abbas, siapa saja
boleh datang untuk mengaji di pesantren, untuk belajar berbagai macam
ilmu. Pengetahuan dan wawasan yang diperoleh Kiai Abbas ketika belajar
di pesantren dan mengaji di tanah suci, digunakan untuk menguatkan model
pendidikan pesantren Buntet. Di pesantren ini, pada masa Kiai Abbas,
bermacam ilmu diajarkan, dari ilmu al-Qur’an, ilmu Qiroat, Hadist,
Tauhid hingga kanuragan menjadi bagian dari tradisi pembelajaran santri.
Kiai
Abbas, selain mengasuh santri, juga menjadi _mursyid_ tarekat
Syattariyah dan _muqoddam_ tarekat Tijaniyyah. Dalam catatan Muhaimin
AG, Kiai Abbas termasuk sosok kiai dengan pikiran yang terbuka. Ketika
beberapa Kiai menolak tarekat Tijaniyyah, Kiai Abbas menerima sebagai
salah satu alternatif dalam laku batin. Di Cirebon, dalam
perkembangannya, tarekat Tijaniyah berkembang, dengan Kiai Abbas dan
Kiai Annas sebagai muqoddamnya. Kiai Annas kemudian melahirkan beberapa
kiai yang menjadi penerus muqoddam dalam praktik tarekat Tijaniyyah:
Kiai Muhammad (Brebes), Kiai Bakri (Kasepuhan, Cirebon), Kiai Muhammad
Rais (Cirebon), Kiai Murtadho (Buntet), Kiai Abdul Khair, Kiai Hawi
(Buntet), serta Kiai Soleh (Pesawahan). Sedangkan, Kiai Abbas mencetak
beberapa penerus dalam tarekat ini, yakni: Kiai Badruzzaman (Garut),
Kiai Ustman Dlomiri (Cimahi, Bandung), serta Kiai Saleh dan Kiai Hawi
(Buntet) (Muhaimin, 2006: 264).
Kiai Abbas
menjadikan pesantren Buntet sebagai rujukan santri. Beliau menambah staf
pengajar untuk mengakomodasi kebutuhan santri-santri dalam belajar
berbagai macam ilmu. Kiai Abbas juga mendirikan madrasah yang dipadukan
dengan pendidikan sekolah. Madrasah inilah yang dinamakan Abna’oel
Wathan, yang menegaskan visi perjuangan Kiai Abbas dalam membangun
fondasi negara.
Pejuang Revolusi
Kiai
Abbas Buntet merupakan murid dari ulama Nusantara yang menjadi
penyambung sanad para kiai: Kiai Nawawi al Bantani dan Syech Mahfudh
at-Tirmasi. Selain Kiai Nawawi, ada beberapa murid lain yang juga
menjadi kiai-kiai penting di Jawa, sebagai jaringan penggerak Nahdlatul
Ulama. Di antaranya: Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muhammad Bakri bin Nur,
Kiai Asnawi Kudus, Kiai Muammar bin Baidlawi Lasem, Kiai Ma’shum bin
Muhammad Lasem, Haji Ilyas (Serang), Tubagus Muhammad Asnawi dan Abdul
Ghaffar dari Caringin (Burhanuddin, 116).
Kiai
Abbas, adalah sosok pejuang yang mencintai tanah air, Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Beliau menggembleng santri agar semangat
memperjuangkan agama dan negara. Bahkan, pesantren Buntet juga menjadi
markas latihan laskar Hizbullah, Sabilillah, dan pasukan PETA. Kiai
Abbas juga membentuk dua regu laskar santri, yang dinamakan Asybal dan
Athfal.
Dikisahkan, dalam pertempuran 10
November 1945, Kiai Abbas menggenggam pasir yang ditaburkan ke arah
musuh. Aksi ini membuat musuh kocar-kacir, karena seakan-akan pasir yang
ditaburkan menjadi meriam dan bom yang menghancurkan.
Sebelum
pertempuran ini, Kiai Abbas juga ikut andil dalam keputusan Resolusi
Jihad, yang merupakan keputusan para Kiai dalam rapat Nahdlatul Ulama di
Bubutan, Surabaya, pada 21-22 Oktober 1945. Beberapa kiai, di antaranya
Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri
Syansuri, Kiai Abbas Buntet, Kiai Wahid Hasyim, dan beberapa kiai
lainnya berkumpul dalam sebuah majlis untuk membahas penyerbuan tentara
NICA (_Netherlands Indies Civil Administration_). Fatwa Jihad yang
digelorakan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari akhirnya menjadi catatan
sejarah, sebagi pengobar semangat kaum santri untuk berjuang
mempetahankan negeri.
Pada pertempuran 10
November 1945, Kiai Abbas ikut membaur dengan pejuang dari kalangan Kiai
yang berpusat di Markas Ulama, di rumah Kiai Yasin Blauran Surabaya. Di
rumah ini, para kiai berkumpul untuk merancang strategi, menyusun
komando serta memberikan suwuk/doa kepada para santri pejuang yang
bertempur melawan penjajah (Amin, 2008: 72)
Setelah
masa perjuangan kemerdekaan, Kiai Abbas mendapat amanah sebagai anggota
KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat)—yang kedudukannya sebagai DPR
sementara. Kiai Abbas mewakili area Jawa Barat, dalam kedudukannya
sebagai anggota KNIP.
Kiai Abbas dikenal
sebagai kiai yang memiliki ilmu kedigdayaan yang tinggi pada masa
hidupnya. Beliau tak hanya berilmu agama mendalam, namun juga dikenal
digdaya dan ampuh. Kemampuan Kiai Abbas dalam bidang
_psychokinesys_—yang berangkat dari Cirebon menuju Surabaya dalam
sekejap hentakan kaki, merupakan karomah yang diberikan Allah kepada
beliau (Amin, 2008: 72). Inilah potret Kiai Abbas yang berjuang dengan
ikhlas dan rela untuk menjaga negeri dari tangan penjajah. Sudah
selayaknya, perjuangan Kiai Abbas menjadi referensi pewaris negeri,
sebagai pahlawan dari kaum santri.
Munawir Aziz, Koordinator Teraju Indonesia, Wakil Sekretaris LTN PBNU, (@MunawirAziz)
Referensi:
Abdul Ghoffir Muhaimin, The Islamic Tradition of Cirebon: Ibadat and Adat among Javanese Muslim, Canberra: ANU Press, 2006.
_____________________________. Pesantren and Tarekat in the Modern Era: An Account of the Transmission of Traditional Islam in Java, Jakarta, Studia Islamika, 1997.
Abdul Wahid, Peranan Pondok Pesantren Buntet Cirebon bagi Kemajuan Lingkungan Pendidikan di Lingkungan Sekitar 1958-2009, Universitas Negeri Semarang, 2012.
Hasan AZ, Perlawanan dari Tanah Pengasingan: Kiai Abbas, Pesantren Buntet dan Bela Negara, Yogyakarta: LKIS. 2014.
Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, Jakarta: Mizan, 2012.
Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai, Yogyakarta: LKIS. 2008.
sumber : http://www.nu.or.id/post/read/65684/kiai-abbas-buntet-kiai-sufi-pejuang-negeri